Semesta adalah akuarium kata-kata dan kita adalah ikan-ikannya....

Rabu, 22 Oktober 2025

Tenung



Kepulangan Ladimi yang begitu tiba-tiba, tentu saja membuat orang-orang Kampung Kelingi disergap rasa tak percaya. Bagaimana tidak, mereka masih mengingat dengan jelas peristiwa menggemparkan sepuluh tahun yang lalu, saat pemuda itu menghilang dengan cara misterius pada suatu petang yang bergerimis.

Pada saat itu orang-orang mencarinya. Tak ada lekuk Kampung Kelingi yang tak disusuri. Dari hutan Kemuning hingga sepanjang aliran Sungai Batang Meranti tak ada yang tak dijelajahi. Namun jangankan jasad, jejaknya saja tak ada. Pencarian itu tak menghasilkan apa-apa.

Satu tahun selepas menghilangnya Ladimi, Nyi Baiduri, ibu kandungnya jatuh sakit dan meninggal dunia. Orang-orang bersepakat, perempuan itu mati akibat menanggung kesedihan lantaran hilangnya Ladimi, anaknya semata wayang, buah perkawinannya dengan Samiri, lelaki pendatang yang meninggalkannya saat Ladimi masih berusia tujuh bulan dalam kandungan.

Segelintir orang bersaksi, tiga malam sebelum Ladimi kembali ke Kampung Kelingi, mereka melihat kelebat bayang-bayang muncul dari jalan setapak menuju Bukit Mategelung. Kuat dugaan, kelebat bayangan itu adalah Ladimi. Namun, kesaksian itu diragukan keabsahannya, tersebab penuturnya adalah orang-orang yang biasa mabuk di lepau tuak Mak Jahroh.

Sejak kepulangannya, Ladimi langsung menjadi perbincangan. Orang-orang penasaran, ke mana Ladimi si bocah kumal bertubuh ceking itu pergi. Ia mungkin telah terkubur di suatu tempat, sebab Ladimi yang sekarang menjelma sosok pemuda tampan yang membuat gadis-gadis berebut mencari perhatian.

Jalan yang biasa dilewatinya saban pergi ke surau, menjadi tempat duduk-duduk para gadis. Apabila melihat pemuda itu lewat, mereka akan berebut melakukan apa saja untuk menarik perhatiannya. Tak jarang terjadi kericuhan kecil di antara mereka, dan semua itu tentu saja karena pesona dan kegagahan yang ada pada Ladimi.

Berbilang minggu kemudian, Ladimi menjadi biang mudarat di Kampung Kelingi. Jika ada rumah tangga retak, maka tudingan mengarah pada Ladimi. Jika ada pertunangan dibatalkan sepihak, maka tudingan juga akan diarahkan pada Ladimi. Singkatnya; Ladimi dianggap perusak hubungan lelaki dan perempuan di Kampung Kelingi.

Entah siapa pula yang mula-mula meniupkan kabar celaka itu. Mereka berkata Ladimi menyebarkan tenung pemikat yang membuat para wanita tergila-gila. Desas-desus itu mengeduk kembali hikayat kelam orangtuanya. Bagaimana Nyi Baiduri menjatuhkan pilihan pada Samiri—pemuda yang konon datang ke Kampung Kelingi tanpa sebab tanpa riwayat.

Sebagian orang berkata Samiri jelmaan Puyang Matauh. Raja Orang Bunian yang jatuh hati pada Baiduri, makhluk gaib yang mendiami Bukit Mategelung. Desas-desus perihal kesaksian orang-orang di lepau tuak Mak Jahroh beberapa waktu lalu, semakin memperkuat tuduhan itu. Ladimi anak titisan Orang Bunian.

“Kalian ingat dulu bagaimana Samiri memikat Nyi Baiduri?” kata Mat Boneh di hadapan puluhan orang yang duduk di lepau tuak Mak Jahroh.

“Ya, aku ingat,” timpal Dayat. Lelaki bertubuh gemuk itu dengan penuh semangat membumbui cerita Mat Boneh. “Nyi Baiduri meninggalkan Rosidi lalu menikahi Samiri, padahal rencana pernikahan mereka hanya tinggal menghitung hari.”

Nah, kalau begitu, kenapa harus heran? Tak akan syak lagi. Ladimi itu anak Orang Bunian. Pemuda itu pasti memakai tenung pemberian bapaknya.”

Orang-orang terdiam mendengar perkataan Mat Boneh. Konon tenung Orang Bunian itu memiliki daya pikat luar biasa. Dugaan itu cocok dengan Ladimi, bahwa hanya dalam tempo tiga bulan saja sejak kepulangannya, pemuda itu berhasil membuat banyak gadis jatuh cinta dan tergila-gila.

Bahkan bukan itu saja, sebagian lelaki itu mengaku pernah memergoki Ladimi membawa gadis-gadis itu ke rumahnya. Prasangka membiak di kepala mereka, tentulah pemuda itu melakukan perbuatan kotor yang mengundang bencana dan semua itu dilakukannya dengan tenung pemberian bapaknya. Makhluk jahat dari Bukit Mategelung.

Perihal cerita Mat Boneh, orang-orang pun tak mampu menyangkalnya. Sudah lazim dikisahkan turun temurun, bagaimana angkernya Bukit Mategelung. Di sana bertahta kerajaan Orang Bunian. Makhluk-makhluk setengah siluman yang kerap menjadikan anak-anak perawan sebagai pelampiasan syahwat dan pencabulan. Kisah ini beranak-pinak di tiap kepala dan menjadi dendam lama yang tak terbalaskan.

Ada baiknya perkara ini kita adukan pada Wak Zaini,” cetus Dayat geram. “Ladimi mesti diusir dari kampung ini. Kalau dia menolak, kita habisi.”

Usul keji itu dengan lekas disepakati. Mereka berbondong mendatangi kediaman Wak Zaini. Sebagai Tetua Kampung, lelaki tua itu hanya bisa mengamini. Ia berjanji akan meminta Ladimi pergi dari Kampung Kelingi.

***

 Baca Juga: Muslihat Seekor Domba


Aku tidak bisa menuruti permintaan mereka. Bahkan jika pun mereka membunuhku, aku tidak akan pergi dari kampung ini.

Wak Zaini memegang pundak Ladimi, “Aku percaya kau tidak melakukannya. Aku kenal baik mendiang ibu-bapakmu.”

“Aku tak pernah mengotori kampung ini,” kata Ladimi dengan mata menerawang. “Aku hanya ingin pulang.”

Ladimi lantas menceritakan pada Wak Zaini, perihal kepergiannya bertahun-tahun lalu, pada malam ketika ia dikabarkan hilang. Malam itu, bapaknya datang, setelah sekian lama menghilang. Orangtuanya bertengkar hebat. Ia masih terlampau belia untuk paham persoalan itu. Namun satu yang Ladimi tahu, bapaknya punya istri baru.

 Puncak dari pertengkaran itu, bapaknya pergi lagi, tapi kali ini membawa Ladimi. Ia yang masih belia, tak kuasa menolak kehendak bapaknya. Meski dirinya meronta-ronta, tangan kekar bapaknya memisahkan ia dengan ibunya. Malam itu juga, Ladimi dibawa ke pulau Jawa—tanah yang diakui sebagai asal bapaknya.

“Itulah cerita sebenarnya,” lirih Ladimi.

“Tapi kepala orang-orang kampung ini sudah kadung dipenuhi api. Aku tak ingin hal buruk terjadi padamu,” kata Wak Zaini mencoba mendesak Ladimi.

“Tak mengapa. Persoalan ini jangan sampai menjadi beban. Biarlah besok atau lusa, aku sendiri yang akan menjelaskannya,” pungkas Ladimi.

Mendengar jawaban itu, Wak Zaini tidak bisa berbuat apa-apa. Ia mengelus-elus kepala Ladimi, lalu meninggalkan pemuda itu tanpa bicara.

***

 Baca juga: Orang-Orang Pabrik


Malam itu, bulan membakar pucuk-pucuk trembesi tua. Sekelompok lelaki berkumpul di tanah lapang dekat pekuburan umum Kampung Kelingi. Di hadapan bias cahaya obor yang berkeridip, nama Ladimi disebut berkali-kali.

Kita sudah memperingatkannya, tapi tidak juga gubrisnya.

“Pemuda keparat itu mencari mati.

Puluhan lelaki berdiri, mengacungkan parang ke udara. Parang-parang itu berkilau ditimpa cahaya bulan. Kemudian bersusul-susulan dengan teriakan penuh amarah.

Hanya hukuman mati yang layak diterima tukang tenung.”

Ya! Dia harus dibinasakan!

“Ya! Cincang saja!”

“Ya! Habisi dia!”

“Ya! Ya! Ya!”

Memasuki tengah malam, rombongan itu mencapai kata sepakat; Ladimi harus mati. Mereka meninggalkan tanah lapang itu seperti barisan hantu yang baru bangkit dari kuburan. Lolong anjing dan remang cahaya bulan mengiringi langkah mereka hingga tiba di pelataran rumah Ladimi.

Terang nyala patromak dan api obor mampu menyibak kabut pekat malam buta, namun tak mampu menyibak kabut pekat di kepala mereka. Dua orang lelaki menendang pintu rumah Ladimi hingga terbuka. Pemuda itu sedang tertidur saat hantaman keras mendarat di pelipisnya.

Beberapa orang melempar obor ke atap dan beranda. Tanpa bisa dicegah, kobaran api membumbung ke angkasa, melahap pelan-pelan semuanya. Orang-orang kalap itu bersorak-sorai saat menggiring Ladimi menuju hutan karet di pinggir Kampung Kelingi. Pemuda itu berjalan dengan tangan terikat ke belakang. Sorot matanya memancarkan luka.

Dari kejauhan anjing-anjing menyalak tak berhenti, seolah melolongkan kabar kematian. Ketika mencapai pertengahan hutan, tiba-tiba angin bertiup kencang. Api obor dan segala alat penerangan padam. Orang-orang terpaku dalam kegelapan.

Setelah api obor dan alat penerangan berhasil dinyalakan, mereka kaget bukan kepalang. Di hadapan mereka hanya teronggok seutas tali dan setitik dua titik darah yang membekas di ujung helai rerumputan. Orang-orang beringas itu saling pandang dengan wajah tercekat ngeri. Sesuatu yang ganjil telah terjadi. Ladimi hilang lagi.  (*)


Cerpen ini pernah tayang di laman Sanggarcaraka.com, edisi 1 April 2021

Share:

Selasa, 21 Oktober 2025

Ngaruh Rasan


Penghujung bulan haji itu Umak menelponku, menyampaikan kabar jika Hambali hendak menikah dengan Rosidah. Aku diminta pulang barang sehari-dua hari, agar bisa mendampingi Ebak menyiapkan segala sesuatunya. Tetapi kabar itu tak serta-merta membuatku gembira. Alih-alih gembira, justru kekhawatiran membiak di kepala.

Pernikahan bukan perkara mudah di kampung kami. Ada banyak aral yang mesti dilalui, salah satunya adat ngaruh rasan. Sebelum ijab kabul dilangsungkan, keluarga mempelai laki-laki mesti mengabulkan segala pinta keluarga mempelai perempuan. Jika tak sanggup, jangan harap pesta pernikahan terlaksana.
Tidak jarang adat itu menjadi pelerai cinta gadis dan bujang. Jika tak ada saling pengertian di kedua belah pihak calon besan, maka pesta pernikahan tak akan bisa dilangsungkan.

Sepanjang perjalanan, pikiran itu mengusikku. Aku salah satu korban adat itu. Karena itulah aku tak mau Hambali bernasib sama sepertiku. Dan untuk sekali ini, pada rencana pernikahan Hambali, aku telah mematri janji, akan kutentang adat itu. Adat yang menjerat leher kaum lelaki di kampung kami.
***
Baca juga: Rumah Kenangan Ibu

Ketika fajar masih terang-terang tanah, biasanya Hambali sudah pergi menyadap getah karet di kebun milik Ebak di Bukit Guntung. Ia akan pulang sebelum waktu salat zuhur. Tetapi pagi itu,  suasana rumah ini sedikit berbeda. Aku melihat adik bungsuku itu melamun di beranda. Aku enggan menyapanya, tersebab mafhum, mungkin lantaran pagi ini adalah pagi yang penting baginya. Kotak masa depannya akan dibuka.

Seminggu yang lalu Ebak dan kerabat kami sudah Ngaruh Rasan. Mereka mendatangi keluarga Rosidah untuk mengajukan pinangan serta niatan menyunting gadis itu untuk Hambali. Sirih pinang bersusun di dalam nampan, wajik dan juadah sudah dihantarkan. Kini tinggal menanti jawaban dari pihak calon mempelai perempuan.

Ebak sudah berdandan rapi dan duduk di ruang tamu. Umak sedang menjerang air di dapur. Gemericik minyak panas menyambut satu persatu irisan pisang yang disulurkannya ke dalam wajan. Aku duduk di kursi makan, tak jauh dari Umak, membantunya mempersiapkan hidangan perjamuan untuk tamu istimewa yang sebentar lagi akan datang.

Tamu istimewa itu adalah Pacik Zainuri, cugur kampung kami. Sebagai cugur, Pacik Zainuri bertugas menjadi penyambung lidah keluarga calon mempelai perempuan. Lelaki tua itulah yang akan menyenaraikan jumlah mahar perkawinan yang wajib dipenuhi calon mempelai laki-laki.

Selama menunggu kedatangan tamu istimewa ini, kami lebih banyak diam. Perasaan kami dicekam was-was yang begitu tebal. Apa yang nanti disampaikan Pacik Zainuri bisa jadi ladang pertaruhan martabat dan harga diri. Kupandangi wajah Ebak, Umak, dan Hambali berganti-ganti. Raut mereka sedikit tegang dan gundah.

Saat matahari naik sepenggalah, terdengar dua suara mengucap uluk salam di beranda. Pacik Zainuri rupanya sudah datang. Lelaki tua itu datang bersama Mang Salim, paman Rosidah. Kami menyambut kedatangan mereka dengan senyum paling ramah.

Umak dengan cekatan menyajikan penganan kecil sebagai jamuan, lalu duduk di samping Ebak. Aku dan Hambali duduk berdampingan, bersiap mendengar kabar yang akan diterakan.

Lantas dengan penuh ketakziman, Pacik Zainuri menyenaraikan jawaban keluarga besar Rosidah. Setelah usai lelaki tua itu menuntaskan kata-katanya, kami semua terdiam. Sungguh tak disangka, apa yang disampaikannya membuat kami kecewa. Keluarga Rosidah mematok mahar di luar batas kesanggupan yang kami bisa.

“Apa salahnya jika kita menawar mahar yang dipinta," ucapku memecah keheningan yang bergulir di ruangan itu dan menyebarkan rasa tak nyaman. “Bukankah ini demi kebaikan dua keluarga juga?"

“Aku tak mengira kalau lama hidup di kota membuat kau berubah, Badar," sindir Pacik Zainuri. “Kaupikir kami sedang menjual anak domba, hingga bisa kautawar seenaknya?”

Dengan ekor mata, kutangkap senyum sinis di bibir Mang Salim. “Ini aturan adat yang tak boleh dilanggar," ujar lelaki setengah baya itu santai. “Jika tak sanggup memenuhinya, batalkan saja.”

Aku ingin membantah, tapi Ebak memandang tajam, seakan memberi isyarat agar aku diam. Tidak ada kemarahan di dalam sorot matanya, lebih ke penyesalan mendapati anak sulungnya menjelma menjadi pembangkang.

“Saat ini kami belum bisa memberikan jawaban,” kata Ebak pelan. “Beri kami waktu tiga hari di muka. Jawabannya akan segera Pacik terima.”

Demikianlah akhirnya, sampai Pak Zainuri dan Mang Salim pergi, tak ada kata sepakat yang kami capai. Mahar yang diajukan keluarga Rosidah, tak sanggup kami kabulkan. Dengan sisa-sisa rasa kesal di dada, aku coba menyampaikan pendirianku kepada Ebak.

“Apa yang salah dari saranku tadi?" tanyaku sambil memandangi wajah Ebak lekat-lekat. "Jika permintaan itu bisa diubah, kita bisa menikahkan Hambali dan Rosidah.”

“Apa kau sudah gila, Badar?” sentak Ebak. “Kaudengar sendiri omongan mereka tadi. Adat itu tak mungkin diingkari!”

“Tolong, Bak. Pikirkanlah. Aku tak ingin Hambali merasakan perasaanku dulu,” sahutku bersikeras. “Ebak tahu mengapa aku masih melajang sampai tua begini? Adat itu penyebabnya.”

Umak menatapku dengan sorot mata memohon, seolah meminta agar aku tak meneruskan kata-kata. Tapi hatiku sudah kadung luka. Sepuluh tahun yang lalu aku gagal menikahi Maryamah, gadis yang begitu kucinta. Sampai kini rasa sakitnya masih terasa.

Sebenarnya, jauh di lubuk hati, aku senang tinggal di kampung ini daripada hidup merantau di Jakarta. Namun ada sesuatu yang memaksaku pergi: luka yang tercipta dari adat istiadat di kampung ini. Rasa malu yang tak tertanggungkan, membuatku membenci kampung sendiri.
Aku tak ingin Hambali merasakan kebencian dan kekecewaan itu. Maka, sebisa-bisanya akan kubela rasa cintanya kepada gadis itu. Tak peduli meskipun aku akan dibenci oleh penduduk kampung ini.

“Jika adat itu tak bisa diubah, kami para jejaka mungkin tak akan pernah menikah sampai tua!” sentakku sambil berdiri dan mencoba menggugat. "Para gadis pun akan menjadi perawan tua, tersebab tak ada lelaki yang sudi meminang mereka!”

Ebak mendengus dan membuang muka ke jendela. Umak menggeleng dengan pipi berurai air mata. Hambali menunduk dalam-dalam. Aku memang lega usai mengucapkan kalimat itu, namun kesakitan yang kusembunyikan, sesuatu yang kututupi, luka yang bertahun-tahun berusaha kusembuhi, akhirnya terkoyak lagi.

“Tak mengapa, Bang. Tak perlu dipaksakan,” ucap Hambali tiba-tiba seraya memegang lenganku. “Pernikahanku dengan Rosidah dibatalkan saja.”

“Tapi kau akan ditimpa malu, Adikku!” sahutku emosi. “Seperti aku dulu.”

“Sungguh, Bang. Tak mengapa,” ucap Hambali dengan bibir memucat dan gemetar. “Aku bisa menerimanya.”

Aku tahu adikku sedang berdusta. Di matanya, aku melihat ngarai kecewa. Aku tahu bukan itu yang diinginkannya. Hambali mencintai Rosidah. Andai pernikahan ini gagal terlaksana, tak terbayang betapa hancur perasaannya.

“Malam nanti, biar aku yang mendatangi orangtuanya. Akan kusampaikan kalau...”

“Tak usah, Bang,” ucap Hambali menetak omonganku. “Memang aku yang salah. Mungkin aku tak berjodoh dengan Rosidah.”

Aku memandang wajah adikku dengan perasaan hancur. Sorot matanya kehilangan cahaya. Andai bisa dibuat lebih mudah, aku yakin pernikahannya bisa berjalan dengan bahagia. Penghasilannya dari menyadap getah karet itu, kurasa cukup untuk membiayai hidup mereka. Tapi apabila mahar yang dipinta adalah emas dan uang berjuta-juta, mana mungkin keluarga kami sanggup mengabulkannya.

Sementara aku cuma pegawai rendahan, sungguh tak mampu jika diminta untuk meringankan beban keluarga. Esok paginya, dengan segenap berat hati, aku pamit pada Ebak, Umak, dan Hambali. Kepada mereka tetap kusampaikan, bagaimanapun caranya, akan kucari cara agar pernikahan itu terlaksana.

Tetapi, baru satu hari tiba di Jakarta, kabar buruk itu kuterima. Dengan terisak, Umak mengatakan bahwa keluarga besar Rosidah menolak pinangan Hambali. Pernikahan mereka dibatalkan. Seharian itu adikku tak banyak bicara. Ia mulanya pamit menyadap getah karet seperti biasa, namun setelah berjam-jam, ia tak kunjung pulang. Ebak menyusulnya dan menemukan adik kesayanganku, lelaki muda yang patah hati itu, sudah tergantung di dahan pohon karet tua. Ia menebus malu dengan nyawanya.
***

Hujan sehalus kapas tak menyurutkan langkah para pembawa keranda menuju lahan pemakaman. Tangis dan ratap pilu bersitingkah dengan bunyi guruh di kejauhan, merayau bersama desau angin, melintasi kebun karet yang sunyi di lereng Bukit Mategelung.

Di belakang barisan pemanggul keranda, aku tak mengira akan melihat sosok Pacik Zainuri. Ingin rasanya kuusir lelaki tua itu dari barisan para pelayat. Kehadirannya hanya membuat kesedihan di hati kami berlarat-larat. Suka tak suka, lelaki tua itulah yang menjadi muara duka yang kami rasa. Hati batunya menyebabkan luka di dada kami semua.

Selesai liang kubur diuruk dan doa-doa dipanjatkan, para pelayat mulai meninggalkan pemakaman. Aku berjalan paling belakang, tepat di belakang Pacik Zainuri. Di hadapan beberapa warga yang turut mengantar adikku ke peristirahatannya, lelaki tua itu terus mengulang cerita yang sama.

Aku berjuang meredam api yang membakar rongga dada. Namun lisan lelaki tua itu semakin lama semakin berbisa. Tanpa rasa iba, ditudingnya Hambali sebagai lelaki tak tahu diri, yang menaruh cinta pada perempuan lebih tinggi.

Api dendam melahap habis kesabaran dan akal sehatku. Mataku bersitumbuk dengan seonggok kayu. Kayu itu kuayunkan ke kepalanya berulangkali. Jerit ngeri para pelayat tak mampu menghentikan ayunan tanganku. Ketika itu, entah kenapa, di mataku Pacik Zainuri telah menjelma seekor babi. (*)



Catatan
Ngaruh Rasan, negosiasi kedua belah pihak keluarga calon mempelai tentang kisaran besar mahar pernikahan. Adat ini masih dipakai di sebagian desa di Kabupaten Muara Enim. SumSel.
Cugur,  tetua adat.
Ebak, Ayah.
Umak, Ibu.

Cerpen ini pernah tayang di laman Cendana.news, edisi Sabtu, 14 April 2021

Share:

Senin, 20 Oktober 2025

Orang-Orang Pabrik

Satu minggu telah berlalu. Gadis itu datang kembali. Pohon-pohon bougenville yang tumbuh di dekat gerbang sedang berbunga. Daun rimbunnya melindungi gadis itu dari terpaan gerimis. Menit demi menit berlalu dan gerimis pun bertambah tebal, tapi gadis itu belum beranjak dari tempatnya berdiri.

“Apa sih yang dia tunggu?” tanyaku sambil berdiri di samping jendela pos jaga. “Kalian tahu siapa dia?”

“Kami tidak tahu, Pak,” sahut Umar. “Tingkahnya aneh. Dia tak pernah mau bicara.”

“Aku pernah beberapa kali menegurnya, tapi tak digubris,” timpal Subhan. “Sepertinya dia bisu, Pak.”

“Menurutku, kita harus hati-hati,” ucap Umar. “Bisa saja dia sedang mengawasi tempat ini. Saat kita lengah, dia mencuri sesuatu. Niat jahat bisa tumbuh di kepala tiap orang. Tak terkecuali gadis lugu seperti dia.”

Subhan mengangguk, tapi aku tak setuju. Menurutku, Umar bukan pemerhati yang baik. Tuduhan itu terdengar berlebihan. Perawakan serta tingkah laku gadis itu tak menunjukkan jika dia seorang pencuri. Lagipula, pencuri seperti apa yang rutin menaruh bunga di tempat yang sama setiap minggunya?

Aku yakin gadis itu gadis yang baik—terlepas dari keganjilan tingkah lakunya. Aku juga tak ingin menudingnya membawa niat yang buruk. Pasti ada sesuatu yang mendorongnya seperti itu. Alih-alih mengawasinya, apalagi memerintahkan Umar dan Subhan menghalaunya, aku justru tertarik menyelidikinya.

Dari balik jendela, aku melihat gadis itu masih bergeming. Dia tak peduli pada butiran gerimis yang turun semakin tebal. Bibirnya memucat dan bergerak-gerak. Di sela jemarinya terselip setangkai mawar yang segar dan merona.

“Aku akan mengikutinya,” ucapku sembari keluar. Kulihat gadis itu menaruh bunga ke tanah dan beranjak pergi.

“Hati-hati, Pak,” Subhan berusaha menahanku. “Orang-orang di sana keras kepala. Mereka membenci kita. Banyak pekerja yang kena lemparan batu saat menggusur kampung itu.”

“Tenang saja. Aku bisa menjaga diri. Aku cuma ingin tahu, ke mana dia pergi. Mungkin ada seseorang yang bisa menjelaskan siapa gadis itu sebenarnya.”

Umar dan Subhan memandangiku dengan heran. Mereka menawarkan diri untuk menemani. Aku menolak. Aku sengaja ingin mengikuti gadis itu seorang diri agar tak menarik perhatian.


Gadis itu melangkah cepat, seolah sedang terburu. Dia sama sekali tak menoleh ke belakang, hingga tak menyadari jika sedari awal aku sedang membuntutinya. Dia kemudian berbelok ke gang kecil yang menjadi pintu masuk ke sebuah perkampungan—bekas perkampungan lebih tepatnya—dan menghilang.

Aku setengah berlari, memperpendek jarak agar tidak kehilangan jejak. Sebenarnya aku kurang yakin gadis itu berasal dari sana, sebab di sana hanya ada sedikit bangunan, selebihnya cuma puing-puing rumah bekas penggusuran.

Beberapa tahun yang lalu, kawasan ini masih dipenuhi rumah-rumah. Di sisi sebelah barat terdapat bentangan sawah dan kebun karet. Tapi sekarang, semua sudah berubah. Hampir seluruh kawasan ini menjadi kepunyaan orang-orang pabrik. Tanah dan rumah warga dibeli dengan nilai yang memadai.

Angin mengembuskan hawa dingin. Aku berhenti sejenak di depan sebuah gapura. Aroma apak dan kecut menyambut. Bau tak sedap itu berasal dari tempat pembuangan sampah yang terbengkalai. Aku mengitari tempat itu dan menyadari satu hal, nyaris tak ada lagi kehidupan di sini. Rumah-rumah ditandai sehelai segel yang menempel di pintu, persis barisan tawanan yang menunggu waktu eksekusi.
Sebenarnya, sebagian warga kampung ini sudah direlokasi, namun sebagian lagi masih bertahan. Masyarakat yang enggan menjual rumah dan tanah mereka memilih untuk melawan. Sayangnya mereka lupa bahwa kota-kota akan terus tumbuh dan menjadi raksasa dengan cara melahap apa saja.

Aku kembali melihat gadis itu. Dia meniti jalan setapak yang kiri-kanannya ditumbuhi gelagah dan semak belukar, lantas kembali menghilang di balik tikungan. Sesaat aku bimbang dan berpikir untuk kembali, namun rasa penasaran menggelitik, menggoda kaki untuk terus melangkah.

Ujung jalan itu ternyata berakhir di sebidang tanah yang tak seberapa luas. Sebatang pohon randu tumbuh di halamannya. Rumah itu bercat hijau. Sebagian catnya mengelupas dan memudar. Di bagian teras, berjejer pot-pot tanaman yang tampak rapi dan terawat. Rumpun-rumpun mawar tumbuh di dekat pintu pagar. Aku mendekat dan melihat pintu itu bergoyang, membuatku yakin gadis tadi baru saja melewatinya.


Aku berdiri di muka pintu dengan perasaan ragu-ragu. Kuketuk pintu rumah itu beberapa kali sambil beruluk salam, tetapi tak terlihat tanda-tanda kehidupan. Aku setengah tergoda untuk mendorongnya, tapi niat itu batal. Sekali lagi, kuketuk perlahan-lahan, tetapi masih juga tak ada jawaban.

Kali ini aku mengetuk lebih bertenaga. Hanya beberapa detik saja, terdengar langkah kaki terseret-seret, bercampur suara batuk. Ketika daun pintu membuka, seulas wajah perempuan tua berkulit keriput, berambut salju, dengan bibir berkerut muncul di hadapanku.

Assalamualaikum,” aku menyapa sambil mengangguk sopan.

Perempuan tua itu menunjukkan sikap tak peduli. Dia memandangiku dengan sorot mata curiga. “Cari siapa?” katanya sambil berjalan keluar rumah.

Perempuan tua itu duduk di amben bambu yang membujur di teras. Aku duduk di sampingnya dan langsung menjelaskan maksud kedatanganku. Wajah keriput itu menoleh.

“Apakah dia mencuri sesuatu?” tanyanya dengan suara serak.

“Ooh, tidak, tidak...” jawabku cepat dan merasa tak enak. “Dia tidak mencuri apa-apa. Saya cuma penasaran. Dia selalu datang dan meninggalkan mawar ini di depan pintu gerbang pabrik kami.”

Perempuan tua itu menerima setangkai mawar yang kuulurkan. Dia meletakkan bunga itu di pangkuan. Sepi merayap pelan, bersitingkah dengan gemericik gerimis yang terjatuh di atap rumah. Rumpun-rumpun lili paris dan keladi merah bergoyang ditiup angin pagi.

“Namanya Mirah. Dia cucuku satu-satunya,” ucap perempuan tua itu. “Dia bisu sejak lahir.”

“Di mana dia?” tanyaku sembari menoleh ke arah pintu yang terbuka. Aku mencoba melongok ke bagian dalam untuk mencari Mirah, tapi sepertinya tak ada siapa-siapa di rumah itu. “Boleh aku bertemu dengannya?”

Perempuan tua itu menggeleng, “Dia tak suka orang baru,” sahutnya dingin. Mata tua itu melirik tajam, “terlebih orang-orang pabrik sepertimu.”

“Baiklah,” kataku mengalah. Sepertinya kali ini Burhan benar, masih ada kebencian yang kurasakan pada nada suara perempuan tua itu. “Mengapa Mirah membenci kami, orang-orang pabrik?”

“Apakah pertanyaan bodoh itu perlu kujawab?” perempuan tua itu menoleh dan tersenyum sinis. “Kau sudah tahu jawabannya. Bukankah kalian telah merenggut apa saja yang kami punya?”

“Tidak. Itu tidak benar...” tiba-tiba aku tak mampu melanjutkan  penjelasan. Hanya suara di dalam hati yang berujar, “kami hanya pekerja dan pebisnis yang sedang mencari peruntungan. Sama sekali tak ada niat menghancurkan desa ini. Itu hanya mekanisme alam. Kami memiliki modal.”

Aku menghela napas, dan tersenyum untuk mencairkan suasana. “Mengapa Mirah melakukannya?” tanyaku lebih hati-hati. “Dia selalu datang membawa setangkai mawar dan meletakkannya di depan pintu gerbang pabrik kami.”

Perempuan tua itu terdiam beberapa lama. Raut wajahnya berubah murung. Matanya menerawang. “Aku ingin hidup. Aku ingin hidup lebih lama untuk memastikan Mirah bahagia. Ah, kalau saja ayah-ibunya masih ada.” Suara perempuan tua itu mendadak bertambah pelan. “Tapi umur manusia, siapa yang tahu? Apa yang dapat kulakukan dalam keadaan seperti ini? Pelan tapi pasti, kami yang tersisa juga akan terusir.”

“Bukankah semua sudah diberi ganti rugi?” tanyaku lembut. “Dengan uang itu, warga di sini bisa mencari rumah baru yang lebih baik.”

Terdengar dengus mencibir dari mulut perempuan tua itu. Dia menoleh dan tertawa pendek, “Kaupikir uang bisa membeli segalanya?” Sorot mata kelabu itu menusuk tajam. “Saat kau sudah menjejaki usia setua aku, kau akan tahu jika uang tak bisa membeli waktu.”

Walau tak mengerti maksud jawaban itu, aku mengangguk setuju. Aku tahu bahwa perempuan tua itu adalah bagian dari warga kampung ini yang bersikeras mempertahankan hak milik mereka. Aku menanggapi perkataannya dengan perasaan mendalam. Perempuan tua itu hanya tak mengerti, jika dalam dunia bisnis, semuanya bisa terjadi. Akan selalu ada pihak yang kalah dan orang-orang yang tersingkir.

“Kau tadi bertanya tentang Mirah, 'kan?”
Aku mengangguk.

“Di bawah pabrik itu terkubur jasad ayah dan ibunya. Mirah datang untuk berziarah. Apakah itu salah?”

Aku terdiam, bersandar lemah di dinding rumah. Perempuan tua itu mengusap kelopak mawar yang tadi kuberikan. Ketika menatap matanya, hatiku terasa pedih. Meruntuhkan ego materialistik yang kubangun atas nama keuntungan dan bisnis.

Bunyi nada panggil memecah keheningan. Tertera nomor kantor di layar ponsel. Aku berdiri dan berpamitan. Perempuan tua itu tak menjawab. Dia memandangi rumpun-rumpun mawar yang tengah berbunga. Suara mesin-mesin pabrik terdengar di antara gemerincik hujan yang gugur. Aku melangkah meninggalkan halaman rumah itu dengan segenap rasa bersalah. (*)

Cerpen ini pernah tayang di Harian Solopos, edisi Minggu, 3 Juni 2022
Share:

Minggu, 19 Oktober 2025

Muslihat Seekor Domba


Nahas betul nasib Sobari sore itu, manakala melintasi ladang Marsalim dia menjumpai dua sosok mayat manusia. Mayat-mayat itu tergeletak tak jauh dari sulur-sulur rumpun semangka dengan posisi tertelungkup dan berdekatan dengan bangkai seekor domba.
Semula Sobari menduga dua sosok mayat tersebut adalah boneka. Namun, dugaannya langsung menguap begitu dia membaliknya. Dua mayat tersebut ternyata mayat Marsalim dan Ladung Gembala.

Temuan itu kontan membuat Sobari lari lintang-pukang menuju kampung Lubuk Kisam. Hilang niatnya berburu belut, berganti niat menyebarkan warta maut. Dia berteriak-teriak pada semua orang, mengabarkan apa yang baru saja dilihatnya.

Kampung Lubuk Kisam menjadi gempar. Peristiwa itu menjadi perbincangan hangat di mana-mana. Kematian Ladung Gembala dan Marsalim meninggalkan banyak tanda tanya.

Desas-desus pun merebak. Orang-orang berkata, Marsalim mencuri domba Ladung Gembala. Perkara itu membuat mereka berkelahi dan sama-sama mati. Namun, tuduhan itu diragukan keabsahannya, tersebab lelaki bujang tua yang hidup sendiri itu mempunyai ladang semangka paling luas di kampung Lubuk Kisam. Rasanya tidak mungkin mencuri seekor domba apabila untuk membeli sepuluh ekor saja bukan sesuatu yang sulit baginya.

Desas-desus yang beranak-pinak itu akhirnya sampai pula ke telinga Hasim, adik lelaki Marsalim. Hasim berupaya membela martabat mendiang kakaknya dan hanya dibalas cibiran belaka.
Semua orang tahu, betapa buruk hubungan adik beradik itu selama ini. Warga kampung Lubuk Kisam sudah paham penyebab buruknya hubungan tali-darah Hasim dan Marsalim. Keduanya tak bertegur sapa oleh musabab pembagian hak waris yang tak merata.

Sejak Angku Danizar meninggal dunia, Marsalim mewarisi sebagian besar harta benda peninggalan ayahnya, termasuk ladang semangka yang menjadi tempat Marsalim meregang nyawa. Sedangkan Hasim, lantaran dia cuma saudara lain ibu, hanya mendapat sepetak rumah sempit di pinggir kampung Lubuk Kisam.
Orang-orang yakin, lelaki itu sebenarnya senang mendengar berita kematian Marsalim, terlihat pada tamsil di wajahnya ketika kuburan Marsalim selesai diuruk. Alih-alih kesedihan, pada wajah lelaki bertubuh jangkung itu justru menyemburat senyum kegembiraan. Senyum culas itu menghapus niat orang-orang mengucapkan rasa bela sungkawa.
***
Baca juga: Rumah Kenangan Ibu

Seminggu sebelum peristiwa menggemparkan itu terjadi, Hasim mendatangi pondok Marsalim. Dia datang meminta bantuan, karena sudah satu minggu pabrik kerupuk Mamak Sapardin yang menjadi tempatnya bekerja selama ini jatuh bangkrut dan membuatnya terpaksa menjadi pengangguran.

“Abang 'kan tahu, aku ini punya anak-bini. Tak mungkin bisa membiayai hidup mereka kalau aku menganggur seperti ini,” ucapnya setengah menghiba. “Belum lagi Samsul dan Rahmi, sekolah mereka masih butuh banyak biaya.”

“Maaf, aku tak bisa membantumu,” kilah Marsalim. “Kalau cuma beras segantang, akan kuberikan kepadamu. Ini terakhir aku menolongmu. Selepas ini, jangan pernah datang lagi menemuiku.”

Maka dengan segelimang gamang yang tak ditampakkan, mengendaplah dendam di dada Hasim. Mula-mula, hanya sebesar biji semangka, namun dipupuk rasa kecewa yang tak tertanggungkan, dendam itu lama kelamaan membesar juga. Seiring banyak kesulitan yang membelit hidupnya, makin besar pula kemarahannya.

Seminggu lepas pertemuan itu, Hasim bermaksud mendatangi Marsalim sekali lagi, meminta pinjaman uang untuk melunasi seragam Rahmi. Anak sulungnya itu sudah tiga hari tak masuk sekolah, lantaran malu terus ditagih kepala sekolah. Namun niat itu memudar manakala dia melihat kerumunan domba Ladung Gembala.

Niatnya semula adalah mencuri seekor domba dan menjual dagingnya ke kota. Namun entah setan apa yang menyurup ke pikirannya, hingga siasat keji itu pun muncul di kepalanya.

Dia berulang kali melihat ke ladang semangka Marsalim dari kejauhan. Di kepalanya muncul beragam siasat dan rencana. Ilham jahat itu kemudian berdenyar manakala terdengar embik lirih domba Ladung Gembala.

Hasim melihat binatang gemuk berbulu putih itu sedang merumput dengan leher terikat tali. Sementara itu, Ladung Gembala tertidur pulas di bawah pohon ketapang tua yang tumbuh di lereng Bukit Sembayung.

Lelaki penyendiri itu memang saban sore menggembalakan domba-dombanya di padang rumput itu sambil mengawasinya dari kejauhan. Tak ada satu pun warga kampung Lubuk Kisam yang tak tahu kebiasaan itu, termasuk Hasim.
Bolak-balik Hasim memikirkan rencananya. Sesekali dia merasa ragu, hati kecilnya mencegah niat itu terlaksana. Namun suara lain di kepalanya terus-menerus mendorongnya.

Hasim merasa bimbang. Dia tak mungkin melakukannya sendiri. Dia tak mungkin meninggalkan Ineh mengasuh tiga anaknya seorang diri, sementara dirinya membusuk di balik penjara. Namun setelah pungkas sigaret sebatang, keputusan itu pun diambilnya.
***
Baca juga: Rumah Bulan

Domba betina itu awalnya terikat pada sebatang pohon randu yang tumbuh di tengah-tengah padang rumput, sementara angin sejuk dari arah Bukit Sembayung membuat Ladung Gembala tertidur. Dia baru terjaga saat seekor elang menguik keras di dahan ketapang yang melindapinya bagai memberi firasat yang tak baik.

Mendapati dombanya hilang dengan cara yang ganjil, Ladung Gembala menjadi panik. Dia mengitari hampir seluruh tempat dengan membekal sebilah arit dan hati yang mantap: domba itu telah dicuri. Pencariannya baru berhenti di ladang semangka milik Marsalim. Di sanalah dia mendapati domba betina itu tergeletak mati.

Gemeretak geraham Ladung Gembala, prasangka buruk meriap di kepalanya. Lelaki yang telah kadung muntab itu berteriak-teriak, meminta Marsalim keluar dari pondoknya. Tak begitu lama, lelaki itu pun keluar.  Sebilah parang di tangannya. Parang yang terlihat tajam dan bilahnya dipenuhi noda merah seperti darah. Noda merah itu membuat Ladung Gembala yakin, Marsalim-lah pelakunya.

“Aku sudah menunggumu,” tegur Marsalim dingin. “Memang aku yang menyembelihnya. Dombamu itu sudah merusak putik-putik semangkaku dan merusak pula harapanku.”

Jawaban Marsalim membuat merah muka Ladung Gembala. Satu jam sebelumnya, domba betina gemuk itu memang telah merusak ladang semangka milik Marsalim, membuat lelaki yang terkenal paling pemberang di kampung Lubuk Kisam itu naik darah dan menyembelihnya. Namun bagaimanapun juga, membunuh domba itu suatu balasan yang keterlaluan, pikir Ladung Gembala.

“Tega betul kau, Marsalim,” sesalnya dengan mata menyala. “Domba yang kaubunuh itu memiliki tiga anak yang masih menyusu. Andaikata kau tak membunuhnya, aku akan mengganti kerugianmu. Semuanya.”

“Domba ini sudah mati.” Marsalim mendengus, sebelah kakinya menginjak bangkai domba Ladung Gembala. “Kita impas. Kalau kau tak suka, kita selesaikan saja dengan cara orang lama.”

“Domba itu tidak bersalah,” sergah Ladung Gembala. “Kaulihat, di lehernya masih ada tali. Itu tandanya dombaku ini selalu kuikat dan tak kubiarkan sembarangan mencari makan. Kalau dia masuk ke ladangmu, cuma ada dua kemungkinannya, domba ini ada yang melepaskannya atau memang kau yang mencurinya.”

“Lancung betul mulutmu,” gertak Marsalim sambil melambaikan parangnya ke muka Ladung Gembala. “Seharusnya kauminta maaf padaku, sebab semua ini kesalahanmu. Meskipun seluruh dombamu itu kauberikan padaku sebagai gantinya, tak akan bisa mengembalikan putik-putik semangka itu seperti semula.”
“Bukan aku yang harus mengganti kerugianmu. Tapi kau sendiri yang harus mengganti domba itu. Bila perlu dengan nyawamu.”

“Ambil sendiri kalau kau mampu!”
Bala itu bermula dari jawaban Marsalim yang semena-mena, membakar habis kesabaran Ladung Gembala. Kemudian dengan penuh dendam, Ladung Gembala mengayunkan sabit di tangannya. Gerakan itu lekas ditangkis oleh Marsalim. Langit sore yang terang menjadi saksi. Kematian adalah hal yang mustahil dihindari. Sabit dan parang melayang-layang, diiringi tatapan girang Hasim di kejauhan.

Telah diperincikannya matang-matang bahwa Marsalim pasti akan membunuh domba Ladung Gembala. Hasim tahu betul, lelaki bujang tua yang kikir itu tak akan diam jika ladangnya rusak. Dia pasti akan bertikai dengan Ladung Gembala. Pertikaian itu akan mengantarnya pada dua perkara: masuk penjara atau mati terbunuh oleh Ladung Gembala. Dua-duanya memberi untung bagi Hasim, sebab dengan cara itulah dia melunasi dendam-dendamnya dan mengambil alih ladang semangka itu untuk menjamin hidup anak dan bininya. (*)

* Cerpen ini pernah tayang di Harian Solopos, edisi Minggu, 8 September 2019
Share:

Sabtu, 04 Oktober 2025

Lamunan Sepi Annisa

Kelopak mata Anissa menyipit. Sosok tegap Ryan merampas fokusnya pada buku fisika di pangkuannya. Bagai di bawah kuasa hipnotis, ia mengikuti langkah tegap Ryan dari balik jendela perpustakaan. Ia tertegun. Jantungnya berdegub tak menentu. Beberapa detik setelahnya Anissa tersentak, lalu dengan sekuat tenaga ia menindih perasaan aneh yang menggelitiki hatinya.

"Ciee, yang lagi curi-curi pandang. Suka yaa?"

Satu suara mengagetkannya. Anissa menoleh. Ia tersenyum kecut lantas cepat menggeleng. "Nggaklah, Rey. Aku nggak suka sama Ryan."

"Jujur aja, Nis."  Pemilik suara itu adalah Kirey, teman sebangku, sekaligus sahabatnya. "Aku tahu kamu naksir Ryan."

Anissa mengatupkan bukunya. Fokusnya untuk membaca materi fisika buyar oleh perkataan Kirey. Ekor matanya sesekali masih memerhatikan Ryan yang tampak sedang bercanda dengan Nadine di koridor.

Kirey setengah berbisik saat mengucapkan kalimat tadi. Namun kalimat pendek itu sukses membuat wajah Anissa bersemu merah. Ia memandang mata Kirey dengan tatapan berisi permohonan agar apa yang ia ketahui tidak menyebar ke seisi perpustakaan. Anissa malu jika apa yang dikatakan Kirey didengar semua orang.

“Kamu pasti bisa jadi pacarnya." Kirey menepuk pundak Anissa, lalu kembali melanjutkan bacaannya.

Mereka tahu, berbincang di ruang perpustakaan itu mengganggu orang lain yang sedang asyik dengan bacaannya, karena itulah percakapan tentang Ryan pun berakhir begitu saja.

Anissa menghela napas lesu. Tadinya ia sama sekali tak peduli, bahkan tak pernah berpikiran untuk menyukai Ryan, apalagi sampai jatuh cinta pada cowok jago basket itu. Tapi, semakin ia mengingkari perasaannya, semakin kuat saja bayang-bayang Ryan menyesaki hatinya.

Jemari Anissa menyentuh buku dan membukanya lagi. Ia menunduk dan mencoba mengembalikan fokusnya. Namun sosok Ryan justru membawa pikirannya ke mana-mana. Cowok idola sekolah itu telah menanamkan semacam racun ke benaknya. Senyum yang sering dilemparkan Ryan padanya beberapa hari terakhir, membuat ia berpikiran macam-macam. Mungkinkah Ryan menaruh hati padanya?

Tidak! Satu sisi dalam dirinya menolak pertanyaan yang lebih mirip pernyataan itu. Namun, muncul suara lain yang berkata sebaliknya. Ryan memang cowok yang tidak hanya menarik, namun juga memiliki hati yang baik. Setidaknya itu ia buktikan sendiri, saat beberapa minggu yang lalu, secara tak sengaja ia melihat Ryan membantu seorang lelaki buta yang hendak menyeberang jalan.

Kejadian itu membuat Anissa tanpa sadar sering mencuri-curi pandang pada Ryan. Perasaan itu semakin menguat, mana kala pada beberapa moment yang tak disengaja, mata mereka beradu. Ryan melempar senyum yang membekas di hati Anissa. Senyum yang menjadi bibit bunga yang mekar perlahan. Senyum yang membuatnya sering melamun.
***

Baca juga: Rumah Bulan

Jam istirahat sekolah ditandai dengan bunyi bell memanjang. Anissa berjalan di koridor di antara keriuhan siswa yang berebut keluar kelas. Seperti biasa, pada jam istirahat seperti itu, Anissa menuju perpustakaan. Ia akan menghabiskan waktu istirahatnya sambil membaca buku-buku di sanakadang-kadang ditemani Kirey.

Setelah mengambil buku di salah satu rak, Anissa duduk di kursi pembaca di sudut perpustakaan, agak dekat dengan jendela. Ketika sedang asyik menekuri bukunya. Seseorang menarik kursi dan mendekat. Anissa menoleh dan sontak tertegun, mata elang dan wajah tersenyum itu memberi sapaan lembut padanya.

“Aku nggak ganggu, kan?"

Anissa menggeleng, ia salah tingkah. Sekarang Ryan sudah berada di sampingnya. Kehadiran cowok itu membuat perasaannya berdenyar aneh.
Ryan duduk diam sambil membolak-balikkan lembaran buku di tangannya. Keduanya sama-sama terdiam seperti tenggelam dengan bacaan masing-masing. Tetapi tidak dengan Anisa. Sebenarnya gadis itu sedang sibuk meredam badai yang berkecamuk tak menentu di hatinya.

"Kamu selalu di sini saat istirahat?" tanya Ryan tiba-tiba.

"Eh, apa?" Anissa mengangkat wajahnya, lalu cepat-cepat menunduk. Ia gugup.

Ryan mengulang pertanyaannya. "Kamu selalu di sini saat istirahat?"

"Kenapa?" Anissa menjawab, namun tatapan matanya melekat pada lembar buku yang ia baca. Ia tak berani menatap mata Ryan.

"Aku tidak pernah menemukanmu di kantin."

Gadis manis berlesung pipit itu tertawa lirih, meski kedengarannya sumbang. "Aku tidak begitu suka," sahutnya alih-alih mengatakan tidak pernah punya uang saku untuk menghabiskan jam istirahat sembari makan-makan di kantin sekolah seperti siswa-siswa lain.

"Asyik dong kalau jadi pacarmu," ujar Ryan diakhiri tawa lembut. Entah kata-kata cowok itu berisi pujian atau justru olokan. Tapi yang pasti, saat itu wajah Anissa merah merona. Ia menunduk kian dalam, membiarkan rambut panjangnya luruh, menutupi raut wajahnya yang tersipu malu.
***


“Anissa!"

Gadis berambut panjang sepundak itu menoleh, memperlambat langkahnya. Ryan menyusul dengan sepeda motor dari arah belakang. Cowok itu memperlambat laju motor bebeknya, hingga perlahan bersisian dengan langkah Anissa.

"Aku antar ya?”

Anissa mengangkat alis. Ia bimbang, antara mengiyakan atau justru menolak tawaran Ryan. Kehadiran cowok itu membuat perasaannya campur aduk; antara senang dan gamang. Selama ini tak ada cowok yang mengantarnya pulang. Biasanya setiap pulang sekolah, Anissa bersama Kirey, tapi hari ini Kirey tidak masuk sekolah dan Anissa pulang sendirian.

"Hei, kok malah ngelamun?" sergah Ryan membuyarkan lamunan Anissa.

Gadis itu geragapan, "Eng ... nggak usah, Ryan. Terima kasih," jawab Anissa sambil memaksakan diri untuk tersenyum. Ia melanjutkan langkahnya, Ryan mengikutinya.

Lampu lalu lintas di pertigaan depan menyala merah. Anissa bernapas lega, sebab itu artinya Ryan tidak bisa menyejeri langkahnya. Cowok itu terpaksa menghentikan motornya. Anissa mengangguk pelan pada Ryan dan melanjutkan langkah.

"Anissa! Aku boleh main ke rumahmu?"

Anissa menghentikan langkah. Menoleh pada cowok yang selama ini sukses menyandera lamunannya. Ia bingung harus menjawab apa. Jika menolak, ia takut Ryan akan menilai dirinya cewek yang angkuh, tapi memenuhi permintaan cowok itu, ia ragu. Jauh di lubuk hati Anissa terbersit keinginan untuk merasakan bagaimana indahnya masa remaja. Duduk berdua bersama cowok dan bercanda sembari berbagi cerita.

"Bolehkan?" seru Ryan dan suaranya membuat Anissa tersentak.

"Kapan?" tanya Anissa kemudian.

"Nanti malam.”

"Malam Minggu?" nada suara Anissa agak tercekat. Selama ini tidak pernah sekalipun ia menghabiskan malam Minggu bersama teman, apalagi teman cowok, tak mungkin ibunya mengizinkan. Lagipula, tak ada arti spesial bagi Anissa untuk sebuah malam Minggu.

"Maaf, aku nggak bisa.”

"Kenapa?" tanya Ryan dengan kening mengerut.

Anissa menggigit bibir. Ia merasa tak perlu menjelaskan bahwa tak ada  malam tanpa jadwal belajar baginya, tak terkecuali malam Minggu. Ia juga merasa tak perlu menjelaskan jika tiap malam Minggu ia harus menyiapkan materi untuk memberikan les privat untuk anak-anak sekitar rumahnya, bahkan di hari Minggu pun ia harus membantu ibunya berjualan. Ia tak perlu menjelaskan hal itu pada Ryan.

"Ya sudah kalau begitu, nggak apa-apa kok," jawab Ryan sambil tersenyum. "Aku balik duluan ya, Nis. Sampai ketemu hari Senin."

Cowok itu memacu motornya meninggalkan Anissa berdiri di tepi jalan. Hati gadis itu bergemuruh. Haruskah ia menyesali apa yang baru saja ia katakan? Ia baru saja menolak ajakan kencan dari seorang cowok paling dipuja di sekolahnya. Bodohkah itu? Atau justru sikapnya adalah tindakan yang benar? Anissa betul-betul bingung dengan perasaannya sendiri.
***
Baca juga: Rumah Kenangan Ibu


Mangkuk bakso yang dicuci Anissa hampir saja jatuh, kalau di sampingnya tidak ada ibu. Pengunjung warung bakso sedang ramai-ramainya dan membuat ibunya sedikit kerepotan. Tugas Anissa mencuci mangkuk-mangkuk kotor seperti biasa, tapi kali ini ia sama sekali tidak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Wajah Ryan terus hadir di benaknya, berkali-kali ia usir, berkali-kali pula mengganggunya.

"Ibu perhatikan, akhir-akhir ini kamu sering melamun, ada apa, Nis?" Ibu memandang wajahnya sesaat.

"Eng ... nggak kok, Bu, nggak ada apa-apa," jawab Anissa tersendat. Ia meneruskan pekerjaannya, masih ada beberapa mangkuk kotor yang harus segera ia cuci.

"Kamu jangan sering melamunkan hal-hal yang ndak penting, Anissa. Melayani pelanggan itu butuh ketelitian, kamu tentu nggak mau kan warung peninggalan bapak ini jadi kehilangan pelanggan gara-gara kamu salah meracik bumbu?" Ibu mengatakan itu tidak dengan nada tinggi, tapi Anisa bisa merasakan kekesalan yang terpendam di hati ibu. Anissa menunduk. Ia tak bisa menjawab apa-apa.

Anissa ingat peristiwa tiga tahun yang lalu. Hari masih sore saat sirine ambulance meraung-raung memasuki gang sempit di depan rumah. Anissa tak pernah menyangka jika sore itu adalah sore terakhir ia melihat wajah bapak. Seorang lelaki dengan seragam polisi mengatakan bapaknya ditabrak angkot dan pelakunya sudah diamankan.

Bapak meninggal tanpa mewariskan harta yang cukup untuk anak-anaknya. Setelah meninggalnya bapak, otomatis ekonomi keluarga ditanggung oleh ibu. Keluarga penabrak bapak memang bertanggung jawab dan memberikan uang bela sungkawa tapi jumlahnya tak seberapa. Mereka ternyata orang tidak berada. Penabrak bapaknya seorang sopir angkot, penghasilannya tentu tak jauh dengan bapak yang seorang penjual bakso.

Ibu sudah merelakan kepergian bapak, begitupun dengan Anissa, ia sudah mengikhlaskan kepergian bapak sebagai takdir yang harus ia terima. Tapi sejak kepergian Bapak, Anissa tidak yakin bisa meneruskan sekolahnya. Melihat warung bakso peninggalan bapak yang kadang ramai dan kadang sepi, membuat Anissa pesimis bisa merintis cita-citanya.

"Kamu harapan Ibu, Nis. Kamu harus sekolah tinggi, agar bisa bekerja dan membiayai sekolah adik-adikmu." Ibu melanjutkan kalimatnya, "kamu harus sungguh-sungguh dengan sekolahmu. Jika kamu bisa mempertahankan beasiswamu, Ibu bisa menyisihkan uang untuk tabungan atau keperluan sekolah adik-adikmu."

Ibu adalah sumber semangat Anissa. Ia giat belajar dan membantu Ibu berjualan di sela waktunya. Terkadang tetangga-tetangganya memintanya memberi les privat untuk anak-anaknya dan memberi upah sekadarnya. Lecutan semangat itu membuahkan prestasi. Anissa lulus dengan nilai tertinggi dan dengan nilai itu ia mendapat beasiswa di sekolah. Beban ibu dan keraguannya menjadi berkurang.
Kemudian, dengan segunung harapan Ibu kepadanya, rasanya tak sepantasnya ia membuang waktunya hanya untuk melamunkan sosok Ryan. Anissa ingin menepisnya, tapi ia masih belum bisa.
***


Angin menerbangkan selembar daun angsana dan jatuh tepat di pangkuan Anissa. Jam istirahat kali ini, ia mengajak Kirey ke tepi kolam dekat taman sekolah. Ia ingin mencurahkan isi hatinya di tempat sunyi itu. 

"Mungkin kamu benar, Rey. Aku sedang jatuh cinta."

"Sekarang kalian bahkan terlihat semakin akrab.”

Anissa mengangguk. Memang, sejak perbincangan di perpustakaan tempo hari, Ryan semakin akrab dengannya.

"Menurutmu, apakah itu berarti Ryan juga memiliki perasaan yang sama?"

Kirey memetik selembar daun bougenville yang tumbuh tak jauh dari kursi yang mereka duduki, lalu merobek daun itu menjadi dua. "Bisa ya, bisa juga tidak," jawabnya mengangkat bahu.

Anissa tidak puas dengan jawaban itu. Tapi Kirey berkilah bahwa ia pun susah memahami pikiran dan tingkah laku Ryan. Seperti yang sama-sama mereka ketahui, teman-teman mereka banyak yang mengharap perhatian Ryan dan perhatian cowok itu juga bukan untuk Anissa sajawalau untuk beberapa hari ini Anissa dan Ryan terlihat sangat akrab.

“Begitu pentingkah Ryan bagimu?" tanya Kirey tiba-tiba.

Anissa tak siap ditanya seperti itu. "Maksudmu...."

Kirey menghela napasnya. "Kamu pernah bilang nggak suka, tapi di sisi yang lain sepertinya kamu sedang berharap, Nis.”

"Entahlah, Rey," desah Anissa. "Mulanya aku nggak pernah menyukai cowok di sekolah ini. Tapi pada Ryan, aku nggak bisa mengelak ... aku ... aku mungkin berharap padanya, Rey ...."

Angin bertiup sepoi-sepoi. Permukaan kolam berdesir, sehelai daun angsana terjatuh di ujung kaki Anissa. Gadis itu kembali hanyut dalam lamunannya.
***


Bu Dahlia memandang Anissa lembut. Guru konseling itu memanggil Anissa terkait dengan penurunan nilai gadis itu di ujian-ujian harian beberapa minggu terakhir. Anissa menunduk, menekuri deretan angka-angka di buku rapornya. Mata Anissa berembun, seperti ada yang hilang di jiwanya.

"Ibu yakin, kamu sadar benar bahwa pemberian beasiswa dari yayasan terkait nilai yang kamu capai tiap tahun. Jika nilaimu tidak memenuhi syarat, beasiswa terpaksa dialihkan untuk siswa lain," ingat Bu Dahlia.

Anissa tertunduk pasrah.

"Ya, Bu."

"Kamu punya masalah?"

Anissa memilin ujung baju seragamnya. Tak tahu harus menjawab apa. 

“Kamu sedang jatuh cinta?" Pertanyaan itu membuat Anissa menunduk kian dalam. Bu Dahlia tersenyum. "Anissa, remaja seusiamu wajar jika merasa jatuh cinta. Ibu sangat mengerti. Tapi Nis, tidak selayaknya kita mengorbankan masa depan hanya karena cinta. Sering kali perasaan itu cuma gejolak sementara yang bisa merusak masa depan kita."

Anissa mengangguk. Embun di matanya telah menjadi rinai gerimis. Anissa teringat kata-kata ibunya beberapa hari yang lalu.
Jika kamu bisa mempertahankan beasiswamu, Ibu bisa menyisihkan uang untuk tabungan atau keperluan sekolah adik-adikmu.

Haruskah harapan itu kandas oleh perasaannya pada Ryan? Sebuah perasaan yang sebenarnya belum saatnya tumbuh di hatinya.

"Kamu masih memiliki kesempatan, Anissa. Kamu harus mengembalikan nilai-nilaimu yang turun ini.“ Ibu Dahlia menyentuh lengan Anissa. Kelembutan Ibu Dahlia menenangkan hatinya. "Ibu percaya kamu bisa menentukan sikap. Ambillah keputusan yang paling tepat menurutmu," lanjut Bu Dahlia menggugah semangat di dada Anissa.

Anissa seperti baru terjaga dari tidur yang membawanya pada alam mimpi yang tak bermakna. Anissa mengepal jemarinya, ia berjanji tak akan terbuai lamunan-lamunan sepi itu lagi. Cukup sudah, cukup. Ia punya cita-cita. Dan cinta belum saatnya hadir dalam hidupnya. Anissa yakin cinta akan datang pada saat yang tepat dan akan indah pada waktunya. Saat ini yang lebih penting baginya adalah cita-cita bukan cinta. (*)

Cerpen ini pernah tayang di mahalah GADIS, edisi ke 32 || 28 November 2014

Share:

Advertisement

BTemplates.com

Arsip Blog

Diberdayakan oleh Blogger.

Tenung

Kepulangan Ladimi yang begitu tiba-tiba, tentu saja membuat orang-orang Kampung Kelingi disergap rasa tak percaya. Bagaimana tidak, mereka ...

Labels