Semesta adalah akuarium kata-kata dan kita adalah ikan-ikannya....

Selasa, 16 Desember 2025

Udin Ingin Pergi ke Surga


Gembira di wajah Udin secerah langit tengah hari. Ia duduk di bale-bale bambu sembari menantikan  penjelasan ibunya tentang surga. Tidak ada hal lain yang bisa membuat Udin begitu gembira sekaligus penasaran selain surga. Sejak kecil Udin hanya tinggal bersama ibunya. Bila ia sedang merindukan sosok bapaknya, maka ia akan merengek-rengek dan bertanya tentang surga, sebab setiap kali ia bertanya tentang bapaknya, maka ibunya pasti memberi satu jawaban yang disukainya: bapaknya ada di surga.

“Di surga, aku betul bisa bertemu dengan bapak?” tanya Udin.

“Oh  tentu,” sahut Julaiha. “Di sana bapak menunggu kita. Kau bisa bertemu bapak di surga asal kau rajin salat, Nak. Kau sudah salat?”

“Aku baru selesai salat Zuhur, Mak,” jawab Udin riang.

“Iya, baguslah,” jawab Julaiha sembari mengusap kening anaknya. “Kau pasti akan bertemu bapak di surga.”

Udin mengangguk kemudian meraih tangan ibunya. “Aku pergi dulu, Mak. Mang Kasim pasti sudah menungguku di dermaga, assalamualaikum....” katanya usai mencium punggung tangan Julaiha.

Walaikumsalam, hati-hati, Nak.” Julaiha memandangi tubuh bocah kecil itu dengan dada rengkah seperti dihantam kayu berduri. Udin selalu merindukan bapaknya. Sungguh sebuah kerinduan yang tak akan pernah sampai ke muara.
***
Baca juga: Melati Oh Melati

Selepas pulang sekolah Udin pergi ke dermaga menemui Mang Kasim. Dengan perahunya, Mang Kasim kerap mengajak Udin mengantar hasil bumi dari desa-desa di pesisir yang hendak dijual ke kota kabupaten. Jalur sungai menjadi pilihan penduduk satu-satunya, sebab jalan beraspal belum sampai ke desa mereka.
Biasanya, selesai membantu Mang Kasim, Udin akan duduk di dermaga sampai senja. Tempat itu sebetulnya tidak layak disebut dermaga, tapi penduduk sekitar sudah kadung menyebutnya dermaga. Hanya ada sebuah gubug kecil beratap daun nipah dan beberapa tonggak kayu untuk menautkan tali perahu di sana. Gubug itu milik Mang Kasim. Letaknya tepat menghadap ke sungai dan perbukitan.

Udin pernah diceritai guru agamanya, bahwa di surga mengalir sungai-sungai dan gunung-gunung bercahaya. Senja yang berkilau dan mengoleskan pendarnya di permukaan sungai, warna kemerahan yang membungkus perbukitan, membuat Udin menjiwai apa yang diceritakan guru agamanya.

“Mang, apa kau pernah pergi ke surga?” tanya Udin pada lelaki beruban yang sedang duduk di sampingnya menjirat jala yang terkoyak. Siang hari sudah berganti menjadi senja ketika Udin melempar tanya itu pada Mang Kasim.

Lelaki tua itu terkekeh, “Kalau ingin pergi ke Surga berarti aku harus mati dulu, Din.”

“Kalau begitu Bapakku memang sudah mati.” Pandangan mata bocah itu lesat menembus awan-awan pirau di manik langit. Bola mata lugu itu berkaca-kaca. “Ibu selalu bilang kalau Bapak ada di Surga.”

Mang Kasim menghela napas. “Iya Ibumu memang benar, Din. Bapakmu ada di Surga.”

Mang Kasim menatap wajah Udin dengan dada disamaki rasa haru. Terlihat dari tatapannya, lelaki tua itu sangat meyayangi Udin. Masih lekat dalam ingatannya ketika Sobari dikabarkan tewas sepuluh tahun silam. Ketika itu Udin masih di dalam perut Julaiha. Di siang naas itu, ia dan orang-orang menandu tubuh Sobari yang mati ditimpa kayu di hutan Kelingi.

“Kenapa orang harus mati dulu agar bisa pergi ke Surga?” tanya Udin memecah lamunan Mang Kasim. Lelaki tua berkulit tembaga itu tercenung. Ia kehilangan kata-kata. Mang Kasim mencari kata paling mudah untuk dicerna pikiran kanak-kanak Udin. Seekor capung merah hinggap di ujung daun keladi, kemudian terbang lagi. Capung itu menjentik-jentikkan ekornya di permukaan sungai yang mengalir begitu tenang.

“Kau pernah melihat capung keluar dari punggung kumbang air?” tanya Mang Kasim.

Udin mengangguk. Mang Kasim tersenyum. Tak mungkin pula Udin tak tahu. Bocah itu nyaris menghabiskan separuh waktunya di pinggir sungai, mustahil ia tak tahu cikal bakal adanya capung yang kerap ia tangkapi bila sedang merasa bosan lantaran tak ada muatan atau jika arus sungai sedang tidak bersahabat.

“Seperti itulah mungkin cara menuju surga,” jawab Mang Kasim sebisa-bisanya. “Kumbang air harus mati dulu agar bisa menjadi capung. Capung yang bersayap dan dapat terbang ke banyak tempat.”

Mata Udin berbinar mendengar penjelasan itu, “Oh jika aku punya sayap dan bisa terbang. Aku bisa menyusul bapak ke surga,” katanya sambil berdiri merentangkan tangan seperti bersiap untuk terbang.

“Jangan dulu. Kau masih terlalu muda,” seloroh Mang Kasim. Lelaki tua itu tertawa hambar. Ia lalu menggantung jala dan meneguk kopi yang mulai dingin ditiup angin. Ada rasa pahit yang menggelontor di dada lelaki tua itu, rasa pahit yang berbeda dari rasa pahit kopi yang disesapnya.

Sesaat Udin terdiam. Kepala kecil itu mengangguk-angguk. Senyum terkulum di bibirnya. Senyum misterius yang hanya Udin yang tahu apa rahasianya. Bocah itu bangkit dari duduknya dan berlari cepat meninggalkan Mang Kasim tegak di lantai papan dermaga.

“Hei,Udin. Kau mau ke mana!?”
“Aku mau pergi ke surga!” jawab Udin tanpa menoleh. Ia berlari sambil merentangkan tangan. Kali ini dengan mengepak-ngepakan tangannya seolah betul-betul sedang terbang. Udin makin jauh meninggalkan dermaga dan gubug Mang Kasim. Lelaki tua itu hanya bisa tersenyum saat menatap tubuh Udin yang lenyap ke balik tikungan setapak yang dirimbuni semak ilalang.
***
Baca juga: Tenung

Malam sudah terlampau tua. Bulan membakar pucuk-pucuk pepohonan. Julaiha sudah terlelap, tapi Udin masih terjaga. Mata bocah itu liar menerawang ke langit-langit. Kata-kata Mang Kasim kemarin terngiang-ngiang di telinganya: cara pergi ke Surga cuma satu, ia harus mati dulu. Kata-kata itu seperti pulut yang menjerat pikiran Udin. Melekat erat hingga menciptakan ilham di kepalanya.
Udin betul-betul rindu. Ia ingin segera menemui bapaknya. Udin acap kali murung melihat teman-temannya bermain bersama bapak mereka. Sedangkan ia tidak. Cuma ada ibu dalam hari-harinya. Cuma ada Mang Kasim. Udin memejamkan matanya. Ia mendengarkan suara-suara di dalam kepalanya dengan hati dicekat tanda tanya.

“Seperti apa rupanya surga? Adakah Bapak di Surga?”

Demikian suara-suara dalam kepala Udin. Semua syarat pergi ke Surga sudah disiapkan. Ia tak pernah meninggalkan salat, sebab kata ibunya, salat adalah syarat utama masuk Surga. Udin juga telah menyiapkan bubuk yang ia temukan di gubug Mang Kasim.  Ia masih ingat raut tegang lelaki tua itu ketika ia menyentuh bubuk itu.

“Kau bisa mati!” jerit Mang Kasim dengan mata melotot. “Itu bubuk putas. Kalau dilihat orang sekampung bisa kena masalah kita!”

Udin tersenyum. Akal bulusnya berhasil mengelabui Mang Kasim. Ia berpura mengembalikan bubuk itu ke tempatnya dan Mang Kasim percaya. Saat lelaki tua itu silap mata, Udin menyambar bubuk itu lagi, lalu menyimpannya ke balik saku. 
Sekarang semuanya sudah siap. Udin akan memulai perjalanannya ke surga. Sesekali bocah itu melirik ibunya, meneliti seberapa lelap perempuan itu tertidur. Udin menyenggol kakinya, memastikan ibunya telah terbenam dalam mimpi. Setelah betul-betul yakin, barulah ia bangkit dan turun dari tempat tidur tanpa bersuara.
Bubuk itu ia tumpahkan ke dalam cangkir plastik, kemudian diaduknya dengan air. Setelah cukup larut, Udin kembali ke kamar. Ia meletakkan cangkir itu ke atas meja di sisi kanan tempat tidurnya. Udin menunggu azan Subuh bergema, baru ia akan  berangkat ke surga.

Waktu berjalan tertatih-tatih. Serangga malam di luar dan cicak di dinding papan rumah bernyanyi syahdu. Sementara di atas tempat tidurnya, Udin masih setia membuka mata. Benak bocah itu ditaburi kemungkinan-kemungkinan yang membuat hatinya ragu.

“Bagaimana kalau Bapak tidak mengenalinya? Atau bagaimana kalau Bapak tidak ada di Surga?”
***
Baca juga: Orang-Orang Pabrik


Mang Kasim berlari terengah-engah. Ia mendengar kabar bahwa siang itu ada penduduk yang mati minum racun. Rasa takut menusuk-nusuk. Alasan ketakutan itu teramat kuat. Bubuk putas yang ia simpan di atap gubug hilang. Tidak ada yang lain, pelakunya pasti Udin. Firasatnya tidak akan salah bila mengingat percakapan dengan bocah itu kemarin. Lari Mang Kasim terhenti. Bendera kuning terpancang layu di depan pintu. Suara orang-orang menangis terdengar jelas dari luar.

“Siapa yang meninggal?” tanya Mang Kasim pada orang-orang. Tidak ada yang menjawab. Dengan lutut gemetar, lelaki tua itu masuk ke rumah yang disesaki para pelayat. Di muka pintu lelaki itu terpancang kaku.

“Julaiha minum racun,” bisik seorang perempuan paruh baya.

“Iya, dangkal nian keputusannya. Apa tak terpikir olehnya nasib Udin?” sambung perempuan lain dengan nada prihatin.

Mang Kasim terduduk lemas. Para pelayat masih terus berdatangan. Namun di antara mereka tidak ada yang tahu bahwa tadi malam selepas Udin tertidur, Julaiha terbangun karena haus. Perempuan itu melihat cangkir plastik berisi air putih di atas meja. Ia meminumnya hingga tandas tak tersisa. (*)

Catatan
Putas: Potasium Sianida merupakan kristal lembab bewarna putih, larut dalam alkohol, air, dan gliserol. Kegunaan untuk ekstrasi logam, pelapisan elektro, dan insektisida. Sangat beracun. Banyak disalahgunakan masyarakat untuk meracun ikan.

Cerpen ini pernah tayang di harian Riau Pos, edisi Minggu, 02 Oktober 2016


Share:

Selasa, 25 November 2025

Melati Oh Melati


       Jika ada yang bertanya padaku, apa yang paling kubenci di dunia ini, maka pasti akan kujawab; namaku sendiri, Melati. Aku tak menyukai nama Melati, sebab nama Melati adalah luka. Riwayat yang tersemat padanya hanyalah senarai benci dan duka cita.
        Sejak kecil, aku terkucil. Tidak ada anak lelaki yang mau bermain denganku, sebab kata mereka, nama Melati adalah nama banci. Aku tentu tidak terima, sebab julukan itu menginjak harga diriku sebagai lelaki. Ketika olok-olok itu kusampaikan kepada bapak, beliau hanya menjawab, “Itu nama lelaki. Hanya lelaki sejati yang berhak menyandang nama Melati.”
    Sayangnya, jawaban itu tak bisa menghiburku, apalagi menyelamatkan harga diriku. Saat jawaban itu kusampaikan pada teman-temanku, mereka terbahak dan menudingku mengada-ada. Kata mereka, melati adalah nama bunga, dan bunga hanya cocok untuk wanita.
      Saat beranjak dewasa, olok-olok itu tetap membayangiku persis teror seekor hantu. Perihal hantu, aku tak tahu makhluk ini berekor atau tidak, tetapi jelas, hantu lebih beruntung, sebab nama yang tersemat padanya memiliki gema yang membuat gentar siapa saja. Sedang namaku? Sekali lagi, hanya senarai benci dan duka cita.
         Dari segi fisik, sebenarnya tak ada yang menunjukkan diriku ini banci. Tubuhku gempal dan kekar, kurajahi pula lengan kiriku dengan tato seekor naga. Wajahku persegi dan rahangku ditutupi brewok yang membelukar—yang sengaja kupiara agar  bisa menangkis tudingan bahwa aku banci. Tetapi lacur, semua usaha itu sia-sia.
        Lantaran tak tahan, aku pernah berniat mengganti nama Melati dengan nama lelaki sejati. Aku ingin mengganti nama menjadi Bakar bin Abdullah, Edi bin Abdullah, Joni bin Abdullah, atau apa pun asal jangan Melati bin Abdullah. Sayangnya cara itu tetap saja tak berhasil, orang-orang lebih menyukai namaku Melati.
         Ke mana-mana aku menanggung malu. Tidak di kampungku, tidak juga di perantauan, olok-olok nama Melati tidak bisa aku hindari. Aku bahkan pernah ditolak ketika mengajukan surat lamaran pekerjaan ke sebuah pabrik konveksi. Alasannya konyol sekali, lantaran namaku Melati dan juga tato naga di lengan kiri.
             “Sebuah kombinasi yang lucu,” kata personalia itu mencibir.  “Namamu Melati, tapi tubuhmu mirip kuli.”
        Jika tak bersabar, ingin rasanya kucekal tenggorokkannya lalu kubanting di atas meja kerjanya, agar ia tahu bagaimana lelakinya diriku ini. Tapi keinginan itu terhenti di dada saja, kenyataannya aku melangkah kalah dari ruang kerjanya, diiringi bahak tawa yang memuakkan di belakang telinga. 
             Nasib yang tak mujur di perantauan, membawaku kembali ke kampung ini. Berbulan-bulan mencari kerja di kota, tak ada satu perusahaan pun yang mau menerima. Jangan tanya apa sebabnya. Nama yang tak henti-henti merundungku dengan kesialan demi kesialan itulah penyebabnya.
              Kini, usiaku menginjak angka 25 dan bapak pun sudah kian menua. Setiap pulang kerja, beliau sering mengeluh separuh badannya mati rasa, asmanya kambuh akibat terlalu sering terpapar angin malam. Biasanya, usai mengeluh, beliau tertidur di kursi rotan dengan tubuh menguarkan aroma tuak.
          “Dulu bapak kerap menyambukimu dengan ikat pinggang hingga punggungmu luka lebam. Masih ingat?” tanya bapak pada suatu pagi.
                 “Tentu. Agar aku jadi lelaki sejati.”
          “Sekarang kau sudah jadi lelaki sejati,” ujar bapak memerhatikan tubuh dan penampilanku. “Tadi malam aku sudah meminta pada Kang Darmadi, agar kau menggantikanku menjadi penjaga di lokalisasi. Kau mau, kan?”
       Aku langsung mengangguk. Tak mungkin pula kutolak, karena kulihat tubuh bapak yang mulai ringkih itu, tak patut dipaksa bekerja terus-terusan. Aku harus tahu diri. Oleh karena itu, tak perlu berpikir dua kali, langsung kusambar tawaran itu. Lumayanlah, untuk mengusir rasa bosan hari-hariku sebagai lelaki pengangguran.
***
Baca Juga: Tenung

         Malam itu adalah malam ke tujuh aku menggantikan pekerjaan bapak, menjadi petugas keamanan lokalisasi Sedap Malam. Aku menyukai pekerjaan ini. Bekerja di dunianya para lelaki membuatku merasa menjadi lelaki sejati. Apabila ada yang tak kusukai, itu hanyalah para pengunjung kedai Mak Hindun yang selalu mengolok-olokku. Dan bahan olok-olok itu tentu saja namaku. Melati.
          “Kau selalu murung, Melati,” tegur Mak Hindun sambil meletakkan segelas penuh tuak yang menguarkan aroma menyengat ke hadapanku. “Berapa kaujual senyummu itu, sampai pelit betul kau memberikannya?”
            Aku mendengus tak acuh. Mak Hindun terkikik geli, disusul gelak tawa para pengunjung. Aku hapal betul siapa saja pengunjung yang paling sering mendatangi lokalisasi Sedap Malam ini, dan juga menjadi pengunjung tetap kedai tuak Mak Hindun. Kang Somad, Kang Gafur, termasuk Kang Darmadi kepala keamanan lokalisasi.
           “Bisa-bisanya bapakmu memberi nama itu,” cetus Kang Somad sembari mengerling padaku. “Kalau kaupoles bibirmu itu dengan gincu, mungkin akan ada lelaki yang mau menggerayangimu malam ini.”
          Serentak terdengar tawa membahana mendengar lelucon Kang Somad. Aku diam saja, sengaja mengacuhkan ledekannya. Tetapi rupanya, lelaki itu semakin kurang ajar dengan mulutnya. Rasanya ingin kutembus perut buncitnya dengan pisau di balik jaketku agar ia diam. Tapi sebisa-bisanya, kuredam keinginan itu.
           “Kau yakin ada yang doyan dengannya, Somad?” celetuk Kang Gafur, ditimpal tawa bergelak Kang Darmadi dan Mak Hindun. “Lihat muka anak Abdullah ini, kurasa mirip betul dengan ibunya.”
      “Anak ini lumayan juga,” cetus Mak Hindun membelaku. “Kalau aku masih muda, aku mau jadi istrinya.”
       “Tapi sayang, kau sudah tua,” tangkis Kang Somad dan lagi-lagi mereka tergelak bersama. “Dan namanya adalah Melati. Nama ibunya sendiri.”
              Raut muka Mak Hindun serta merta berubah. Kang Gafur dan Kang Darmadi berpura-pura tak mendengar ucapan Kang Somad. Tiga orang itu adalah pekerja paling lama di lokalisasi Sedap Malam ini. Dari perubahan air muka mereka, aku menangkap sesuatu yang ditutupi.
         “Ada apa memangnya dengan perempuan bernama Melati?” tanyaku hati-hati.
        “Betul kau belum tahu?” Lelaki itu bertanya balik. Matanya mengerjap dan alisnya bersijingkat seakan mempermainkan rasa penasaranku.
         “Sudahlah, Somad,” bujuk Mak Hindun agar lelaki itu tak melanjutkan ucapannya.
              “Sudah terlambat,” balas Kang Somad dengan sorot mata sinis ke arahku. “Anak ini perlu tahu rahasia yang disimpan rapat-rapat oleh bapaknya.”
        “Katakan saja,” sentakku tak sabar. “Jangan bertele-tele.”
          “Ibumu memang pelacur. Bapakmu menikahinya saat ia sudah mengandungmu lima bulan,” jawabnya sambil memantik rokok yang baru dirogohnya dari saku. “Itulah kenyataannya. Kau boleh tanyakan itu pada Abdullah kalau kau tak percaya.”
         Perkataan Kang Somad membuat darahku mendidih. “Siapa yang kaumaksudkan itu?” tanyaku dengan mata mendelik tajam, menatap mukanya dengan geram. “Ibuku bernama Maimunah. Bukan Melati.”
          “Kau ini lugu atau dungu, heh?” ejek Kang Somad disusul kekeh pendek dari mulutnya. “Kukira kau sudah tahu riwayat itu dari mulut bapakmu dan mulut warga kampung ini. Bapakmu itu adalah pacar Melati, bekas ratu kecantikan di tempat ini.”
           “Jaga mulutmu, bangsat tua!”
      Kang Somad terdiam ketika kepalan tinjuku mendarat mulus di sudut bibirnya. Sorot mata, gurat keras tulang rahang, dan matanya yang menyorot tajam itu, cukuplah sebagai pertanda bahwa perkelahian dengannya tak mungkin bisa kuhindari. Ia memburuku dengan bangku kayu dan berniat menghantamku. Aku berkelit dan menantangnya di tanah lapang, di depan kedai Mak Hindun.
           Aku mencabut pisau yang terselip di pinggang. Jerit histeris para penghuni lokalisasi tak membatalkan niatku untuk memberi lelaki itu pelajaran berarti. Kusabetkan pisau ke lehernya. Kutikamkan pula ke dadanya. Darah segar menyembur. Lelaki itu terkapar dan aku berdiri dengan tubuh gemetar.
***
Baca juga: Ngaruh Rasan

          Atas apa yang telah kuperbuat, sang jaksa mengganjarku tujuh tahun penjara. Bapak datang menjenguk setelah satu minggu aku menjalani masa hukuman. Ia tersenyum muram ketika kuceritakan semua musababnya. Ia memandangiku lama sekali, seakan-akan menakar akibat yang akan kuterima apabila ia menyampaikan cerita sebenarnya.
          “Ini terakhir aku bertanya, apa arti nama itu?” tanyaku putus asa. “Apa benar aku ini anak pelacur?”
         “Kunamai kau Melati agar kau selalu ingat dari mana kau berasal,” kata lelaki itu dengan tatapan dingin. “sekarang kau telah membuktikan kalau kau adalah lelaki sejati, Melati. Kau memang anak pelacur, tapi bukan berarti kau bisa dihina! Di neraka sana, ibumu pasti bangga!”
          Di dalam jeruji, aku hanya bisa ternganga. Tak ada hasrat lagi untuk bertanya. Lantai yang kupijak seakan runtuh. Dinding penjara seakan melebur kemudian menguburku hidup-hidup. Aku terhenyak dalam kegamangan. Di luar jeruji, bapak tertawa. Aku berusaha menjangkau lehernya, mencoba mencekik batang tenggorokkannya, tapi tak bisa. Gema tawanya semakin lama semakin jauh, memantul berulang-ulang sepanjang lorong penjara. (*)


Catatan: cerpen ini pernah tayang di harian Solopos, edisi Minggu, 30 Juni 2019
Share:

Rabu, 22 Oktober 2025

Tenung



Kepulangan Ladimi yang begitu tiba-tiba, tentu saja membuat orang-orang Kampung Kelingi disergap rasa tak percaya. Bagaimana tidak, mereka masih mengingat dengan jelas peristiwa menggemparkan sepuluh tahun yang lalu, saat pemuda itu menghilang dengan cara misterius pada suatu petang yang bergerimis.

Pada saat itu orang-orang mencarinya. Tak ada lekuk Kampung Kelingi yang tak disusuri. Dari hutan Kemuning hingga sepanjang aliran Sungai Batang Meranti tak ada yang tak dijelajahi. Namun jangankan jasad, jejaknya saja tak ada. Pencarian itu tak menghasilkan apa-apa.

Satu tahun selepas menghilangnya Ladimi, Nyi Baiduri, ibu kandungnya jatuh sakit dan meninggal dunia. Orang-orang bersepakat, perempuan itu mati akibat menanggung kesedihan lantaran hilangnya Ladimi, anaknya semata wayang, buah perkawinannya dengan Samiri, lelaki pendatang yang meninggalkannya saat Ladimi masih berusia tujuh bulan dalam kandungan.

Segelintir orang bersaksi, tiga malam sebelum Ladimi kembali ke Kampung Kelingi, mereka melihat kelebat bayang-bayang muncul dari jalan setapak menuju Bukit Mategelung. Kuat dugaan, kelebat bayangan itu adalah Ladimi. Namun, kesaksian itu diragukan keabsahannya, tersebab penuturnya adalah orang-orang yang biasa mabuk di lepau tuak Mak Jahroh.

Sejak kepulangannya, Ladimi langsung menjadi perbincangan. Orang-orang penasaran, ke mana Ladimi si bocah kumal bertubuh ceking itu pergi. Ia mungkin telah terkubur di suatu tempat, sebab Ladimi yang sekarang menjelma sosok pemuda tampan yang membuat gadis-gadis berebut mencari perhatian.

Jalan yang biasa dilewatinya saban pergi ke surau, menjadi tempat duduk-duduk para gadis. Apabila melihat pemuda itu lewat, mereka akan berebut melakukan apa saja untuk menarik perhatiannya. Tak jarang terjadi kericuhan kecil di antara mereka, dan semua itu tentu saja karena pesona dan kegagahan yang ada pada Ladimi.

Berbilang minggu kemudian, Ladimi menjadi biang mudarat di Kampung Kelingi. Jika ada rumah tangga retak, maka tudingan mengarah pada Ladimi. Jika ada pertunangan dibatalkan sepihak, maka tudingan juga akan diarahkan pada Ladimi. Singkatnya; Ladimi dianggap perusak hubungan lelaki dan perempuan di Kampung Kelingi.

Entah siapa pula yang mula-mula meniupkan kabar celaka itu. Mereka berkata Ladimi menyebarkan tenung pemikat yang membuat para wanita tergila-gila. Desas-desus itu mengeduk kembali hikayat kelam orangtuanya. Bagaimana Nyi Baiduri menjatuhkan pilihan pada Samiri—pemuda yang konon datang ke Kampung Kelingi tanpa sebab tanpa riwayat.

Sebagian orang berkata Samiri jelmaan Puyang Matauh. Raja Orang Bunian yang jatuh hati pada Baiduri, makhluk gaib yang mendiami Bukit Mategelung. Desas-desus perihal kesaksian orang-orang di lepau tuak Mak Jahroh beberapa waktu lalu, semakin memperkuat tuduhan itu. Ladimi anak titisan Orang Bunian.

“Kalian ingat dulu bagaimana Samiri memikat Nyi Baiduri?” kata Mat Boneh di hadapan puluhan orang yang duduk di lepau tuak Mak Jahroh.

“Ya, aku ingat,” timpal Dayat. Lelaki bertubuh gemuk itu dengan penuh semangat membumbui cerita Mat Boneh. “Nyi Baiduri meninggalkan Rosidi lalu menikahi Samiri, padahal rencana pernikahan mereka hanya tinggal menghitung hari.”

Nah, kalau begitu, kenapa harus heran? Tak akan syak lagi. Ladimi itu anak Orang Bunian. Pemuda itu pasti memakai tenung pemberian bapaknya.”

Orang-orang terdiam mendengar perkataan Mat Boneh. Konon tenung Orang Bunian itu memiliki daya pikat luar biasa. Dugaan itu cocok dengan Ladimi, bahwa hanya dalam tempo tiga bulan saja sejak kepulangannya, pemuda itu berhasil membuat banyak gadis jatuh cinta dan tergila-gila.

Bahkan bukan itu saja, sebagian lelaki itu mengaku pernah memergoki Ladimi membawa gadis-gadis itu ke rumahnya. Prasangka membiak di kepala mereka, tentulah pemuda itu melakukan perbuatan kotor yang mengundang bencana dan semua itu dilakukannya dengan tenung pemberian bapaknya. Makhluk jahat dari Bukit Mategelung.

Perihal cerita Mat Boneh, orang-orang pun tak mampu menyangkalnya. Sudah lazim dikisahkan turun temurun, bagaimana angkernya Bukit Mategelung. Di sana bertahta kerajaan Orang Bunian. Makhluk-makhluk setengah siluman yang kerap menjadikan anak-anak perawan sebagai pelampiasan syahwat dan pencabulan. Kisah ini beranak-pinak di tiap kepala dan menjadi dendam lama yang tak terbalaskan.

Ada baiknya perkara ini kita adukan pada Wak Zaini,” cetus Dayat geram. “Ladimi mesti diusir dari kampung ini. Kalau dia menolak, kita habisi.”

Usul keji itu dengan lekas disepakati. Mereka berbondong mendatangi kediaman Wak Zaini. Sebagai Tetua Kampung, lelaki tua itu hanya bisa mengamini. Ia berjanji akan meminta Ladimi pergi dari Kampung Kelingi.

***

 Baca Juga: Muslihat Seekor Domba


Aku tidak bisa menuruti permintaan mereka. Bahkan jika pun mereka membunuhku, aku tidak akan pergi dari kampung ini.

Wak Zaini memegang pundak Ladimi, “Aku percaya kau tidak melakukannya. Aku kenal baik mendiang ibu-bapakmu.”

“Aku tak pernah mengotori kampung ini,” kata Ladimi dengan mata menerawang. “Aku hanya ingin pulang.”

Ladimi lantas menceritakan pada Wak Zaini, perihal kepergiannya bertahun-tahun lalu, pada malam ketika ia dikabarkan hilang. Malam itu, bapaknya datang, setelah sekian lama menghilang. Orangtuanya bertengkar hebat. Ia masih terlampau belia untuk paham persoalan itu. Namun satu yang Ladimi tahu, bapaknya punya istri baru.

 Puncak dari pertengkaran itu, bapaknya pergi lagi, tapi kali ini membawa Ladimi. Ia yang masih belia, tak kuasa menolak kehendak bapaknya. Meski dirinya meronta-ronta, tangan kekar bapaknya memisahkan ia dengan ibunya. Malam itu juga, Ladimi dibawa ke pulau Jawa—tanah yang diakui sebagai asal bapaknya.

“Itulah cerita sebenarnya,” lirih Ladimi.

“Tapi kepala orang-orang kampung ini sudah kadung dipenuhi api. Aku tak ingin hal buruk terjadi padamu,” kata Wak Zaini mencoba mendesak Ladimi.

“Tak mengapa. Persoalan ini jangan sampai menjadi beban. Biarlah besok atau lusa, aku sendiri yang akan menjelaskannya,” pungkas Ladimi.

Mendengar jawaban itu, Wak Zaini tidak bisa berbuat apa-apa. Ia mengelus-elus kepala Ladimi, lalu meninggalkan pemuda itu tanpa bicara.

***

 Baca juga: Orang-Orang Pabrik


Malam itu, bulan membakar pucuk-pucuk trembesi tua. Sekelompok lelaki berkumpul di tanah lapang dekat pekuburan umum Kampung Kelingi. Di hadapan bias cahaya obor yang berkeridip, nama Ladimi disebut berkali-kali.

Kita sudah memperingatkannya, tapi tidak juga gubrisnya.

“Pemuda keparat itu mencari mati.

Puluhan lelaki berdiri, mengacungkan parang ke udara. Parang-parang itu berkilau ditimpa cahaya bulan. Kemudian bersusul-susulan dengan teriakan penuh amarah.

Hanya hukuman mati yang layak diterima tukang tenung.”

Ya! Dia harus dibinasakan!

“Ya! Cincang saja!”

“Ya! Habisi dia!”

“Ya! Ya! Ya!”

Memasuki tengah malam, rombongan itu mencapai kata sepakat; Ladimi harus mati. Mereka meninggalkan tanah lapang itu seperti barisan hantu yang baru bangkit dari kuburan. Lolong anjing dan remang cahaya bulan mengiringi langkah mereka hingga tiba di pelataran rumah Ladimi.

Terang nyala patromak dan api obor mampu menyibak kabut pekat malam buta, namun tak mampu menyibak kabut pekat di kepala mereka. Dua orang lelaki menendang pintu rumah Ladimi hingga terbuka. Pemuda itu sedang tertidur saat hantaman keras mendarat di pelipisnya.

Beberapa orang melempar obor ke atap dan beranda. Tanpa bisa dicegah, kobaran api membumbung ke angkasa, melahap pelan-pelan semuanya. Orang-orang kalap itu bersorak-sorai saat menggiring Ladimi menuju hutan karet di pinggir Kampung Kelingi. Pemuda itu berjalan dengan tangan terikat ke belakang. Sorot matanya memancarkan luka.

Dari kejauhan anjing-anjing menyalak tak berhenti, seolah melolongkan kabar kematian. Ketika mencapai pertengahan hutan, tiba-tiba angin bertiup kencang. Api obor dan segala alat penerangan padam. Orang-orang terpaku dalam kegelapan.

Setelah api obor dan alat penerangan berhasil dinyalakan, mereka kaget bukan kepalang. Di hadapan mereka hanya teronggok seutas tali dan setitik dua titik darah yang membekas di ujung helai rerumputan. Orang-orang beringas itu saling pandang dengan wajah tercekat ngeri. Sesuatu yang ganjil telah terjadi. Ladimi hilang lagi.  (*)


Cerpen ini pernah tayang di laman Sanggarcaraka.com, edisi 1 April 2021

Share:

Selasa, 21 Oktober 2025

Ngaruh Rasan


Penghujung bulan haji itu Umak menelponku, menyampaikan kabar jika Hambali hendak menikah dengan Rosidah. Aku diminta pulang barang sehari-dua hari, agar bisa mendampingi Ebak menyiapkan segala sesuatunya. Tetapi kabar itu tak serta-merta membuatku gembira. Alih-alih gembira, justru kekhawatiran membiak di kepala.

Pernikahan bukan perkara mudah di kampung kami. Ada banyak aral yang mesti dilalui, salah satunya adat ngaruh rasan. Sebelum ijab kabul dilangsungkan, keluarga mempelai laki-laki mesti mengabulkan segala pinta keluarga mempelai perempuan. Jika tak sanggup, jangan harap pesta pernikahan terlaksana.
Tidak jarang adat itu menjadi pelerai cinta gadis dan bujang. Jika tak ada saling pengertian di kedua belah pihak calon besan, maka pesta pernikahan tak akan bisa dilangsungkan.

Sepanjang perjalanan, pikiran itu mengusikku. Aku salah satu korban adat itu. Karena itulah aku tak mau Hambali bernasib sama sepertiku. Dan untuk sekali ini, pada rencana pernikahan Hambali, aku telah mematri janji, akan kutentang adat itu. Adat yang menjerat leher kaum lelaki di kampung kami.
***
Baca juga: Rumah Kenangan Ibu

Ketika fajar masih terang-terang tanah, biasanya Hambali sudah pergi menyadap getah karet di kebun milik Ebak di Bukit Guntung. Ia akan pulang sebelum waktu salat zuhur. Tetapi pagi itu,  suasana rumah ini sedikit berbeda. Aku melihat adik bungsuku itu melamun di beranda. Aku enggan menyapanya, tersebab mafhum, mungkin lantaran pagi ini adalah pagi yang penting baginya. Kotak masa depannya akan dibuka.

Seminggu yang lalu Ebak dan kerabat kami sudah Ngaruh Rasan. Mereka mendatangi keluarga Rosidah untuk mengajukan pinangan serta niatan menyunting gadis itu untuk Hambali. Sirih pinang bersusun di dalam nampan, wajik dan juadah sudah dihantarkan. Kini tinggal menanti jawaban dari pihak calon mempelai perempuan.

Ebak sudah berdandan rapi dan duduk di ruang tamu. Umak sedang menjerang air di dapur. Gemericik minyak panas menyambut satu persatu irisan pisang yang disulurkannya ke dalam wajan. Aku duduk di kursi makan, tak jauh dari Umak, membantunya mempersiapkan hidangan perjamuan untuk tamu istimewa yang sebentar lagi akan datang.

Tamu istimewa itu adalah Pacik Zainuri, cugur kampung kami. Sebagai cugur, Pacik Zainuri bertugas menjadi penyambung lidah keluarga calon mempelai perempuan. Lelaki tua itulah yang akan menyenaraikan jumlah mahar perkawinan yang wajib dipenuhi calon mempelai laki-laki.

Selama menunggu kedatangan tamu istimewa ini, kami lebih banyak diam. Perasaan kami dicekam was-was yang begitu tebal. Apa yang nanti disampaikan Pacik Zainuri bisa jadi ladang pertaruhan martabat dan harga diri. Kupandangi wajah Ebak, Umak, dan Hambali berganti-ganti. Raut mereka sedikit tegang dan gundah.

Saat matahari naik sepenggalah, terdengar dua suara mengucap uluk salam di beranda. Pacik Zainuri rupanya sudah datang. Lelaki tua itu datang bersama Mang Salim, paman Rosidah. Kami menyambut kedatangan mereka dengan senyum paling ramah.

Umak dengan cekatan menyajikan penganan kecil sebagai jamuan, lalu duduk di samping Ebak. Aku dan Hambali duduk berdampingan, bersiap mendengar kabar yang akan diterakan.

Lantas dengan penuh ketakziman, Pacik Zainuri menyenaraikan jawaban keluarga besar Rosidah. Setelah usai lelaki tua itu menuntaskan kata-katanya, kami semua terdiam. Sungguh tak disangka, apa yang disampaikannya membuat kami kecewa. Keluarga Rosidah mematok mahar di luar batas kesanggupan yang kami bisa.

“Apa salahnya jika kita menawar mahar yang dipinta," ucapku memecah keheningan yang bergulir di ruangan itu dan menyebarkan rasa tak nyaman. “Bukankah ini demi kebaikan dua keluarga juga?"

“Aku tak mengira kalau lama hidup di kota membuat kau berubah, Badar," sindir Pacik Zainuri. “Kaupikir kami sedang menjual anak domba, hingga bisa kautawar seenaknya?”

Dengan ekor mata, kutangkap senyum sinis di bibir Mang Salim. “Ini aturan adat yang tak boleh dilanggar," ujar lelaki setengah baya itu santai. “Jika tak sanggup memenuhinya, batalkan saja.”

Aku ingin membantah, tapi Ebak memandang tajam, seakan memberi isyarat agar aku diam. Tidak ada kemarahan di dalam sorot matanya, lebih ke penyesalan mendapati anak sulungnya menjelma menjadi pembangkang.

“Saat ini kami belum bisa memberikan jawaban,” kata Ebak pelan. “Beri kami waktu tiga hari di muka. Jawabannya akan segera Pacik terima.”

Demikianlah akhirnya, sampai Pak Zainuri dan Mang Salim pergi, tak ada kata sepakat yang kami capai. Mahar yang diajukan keluarga Rosidah, tak sanggup kami kabulkan. Dengan sisa-sisa rasa kesal di dada, aku coba menyampaikan pendirianku kepada Ebak.

“Apa yang salah dari saranku tadi?" tanyaku sambil memandangi wajah Ebak lekat-lekat. "Jika permintaan itu bisa diubah, kita bisa menikahkan Hambali dan Rosidah.”

“Apa kau sudah gila, Badar?” sentak Ebak. “Kaudengar sendiri omongan mereka tadi. Adat itu tak mungkin diingkari!”

“Tolong, Bak. Pikirkanlah. Aku tak ingin Hambali merasakan perasaanku dulu,” sahutku bersikeras. “Ebak tahu mengapa aku masih melajang sampai tua begini? Adat itu penyebabnya.”

Umak menatapku dengan sorot mata memohon, seolah meminta agar aku tak meneruskan kata-kata. Tapi hatiku sudah kadung luka. Sepuluh tahun yang lalu aku gagal menikahi Maryamah, gadis yang begitu kucinta. Sampai kini rasa sakitnya masih terasa.

Sebenarnya, jauh di lubuk hati, aku senang tinggal di kampung ini daripada hidup merantau di Jakarta. Namun ada sesuatu yang memaksaku pergi: luka yang tercipta dari adat istiadat di kampung ini. Rasa malu yang tak tertanggungkan, membuatku membenci kampung sendiri.
Aku tak ingin Hambali merasakan kebencian dan kekecewaan itu. Maka, sebisa-bisanya akan kubela rasa cintanya kepada gadis itu. Tak peduli meskipun aku akan dibenci oleh penduduk kampung ini.

“Jika adat itu tak bisa diubah, kami para jejaka mungkin tak akan pernah menikah sampai tua!” sentakku sambil berdiri dan mencoba menggugat. "Para gadis pun akan menjadi perawan tua, tersebab tak ada lelaki yang sudi meminang mereka!”

Ebak mendengus dan membuang muka ke jendela. Umak menggeleng dengan pipi berurai air mata. Hambali menunduk dalam-dalam. Aku memang lega usai mengucapkan kalimat itu, namun kesakitan yang kusembunyikan, sesuatu yang kututupi, luka yang bertahun-tahun berusaha kusembuhi, akhirnya terkoyak lagi.

“Tak mengapa, Bang. Tak perlu dipaksakan,” ucap Hambali tiba-tiba seraya memegang lenganku. “Pernikahanku dengan Rosidah dibatalkan saja.”

“Tapi kau akan ditimpa malu, Adikku!” sahutku emosi. “Seperti aku dulu.”

“Sungguh, Bang. Tak mengapa,” ucap Hambali dengan bibir memucat dan gemetar. “Aku bisa menerimanya.”

Aku tahu adikku sedang berdusta. Di matanya, aku melihat ngarai kecewa. Aku tahu bukan itu yang diinginkannya. Hambali mencintai Rosidah. Andai pernikahan ini gagal terlaksana, tak terbayang betapa hancur perasaannya.

“Malam nanti, biar aku yang mendatangi orangtuanya. Akan kusampaikan kalau...”

“Tak usah, Bang,” ucap Hambali menetak omonganku. “Memang aku yang salah. Mungkin aku tak berjodoh dengan Rosidah.”

Aku memandang wajah adikku dengan perasaan hancur. Sorot matanya kehilangan cahaya. Andai bisa dibuat lebih mudah, aku yakin pernikahannya bisa berjalan dengan bahagia. Penghasilannya dari menyadap getah karet itu, kurasa cukup untuk membiayai hidup mereka. Tapi apabila mahar yang dipinta adalah emas dan uang berjuta-juta, mana mungkin keluarga kami sanggup mengabulkannya.

Sementara aku cuma pegawai rendahan, sungguh tak mampu jika diminta untuk meringankan beban keluarga. Esok paginya, dengan segenap berat hati, aku pamit pada Ebak, Umak, dan Hambali. Kepada mereka tetap kusampaikan, bagaimanapun caranya, akan kucari cara agar pernikahan itu terlaksana.

Tetapi, baru satu hari tiba di Jakarta, kabar buruk itu kuterima. Dengan terisak, Umak mengatakan bahwa keluarga besar Rosidah menolak pinangan Hambali. Pernikahan mereka dibatalkan. Seharian itu adikku tak banyak bicara. Ia mulanya pamit menyadap getah karet seperti biasa, namun setelah berjam-jam, ia tak kunjung pulang. Ebak menyusulnya dan menemukan adik kesayanganku, lelaki muda yang patah hati itu, sudah tergantung di dahan pohon karet tua. Ia menebus malu dengan nyawanya.
***

Hujan sehalus kapas tak menyurutkan langkah para pembawa keranda menuju lahan pemakaman. Tangis dan ratap pilu bersitingkah dengan bunyi guruh di kejauhan, merayau bersama desau angin, melintasi kebun karet yang sunyi di lereng Bukit Mategelung.

Di belakang barisan pemanggul keranda, aku tak mengira akan melihat sosok Pacik Zainuri. Ingin rasanya kuusir lelaki tua itu dari barisan para pelayat. Kehadirannya hanya membuat kesedihan di hati kami berlarat-larat. Suka tak suka, lelaki tua itulah yang menjadi muara duka yang kami rasa. Hati batunya menyebabkan luka di dada kami semua.

Selesai liang kubur diuruk dan doa-doa dipanjatkan, para pelayat mulai meninggalkan pemakaman. Aku berjalan paling belakang, tepat di belakang Pacik Zainuri. Di hadapan beberapa warga yang turut mengantar adikku ke peristirahatannya, lelaki tua itu terus mengulang cerita yang sama.

Aku berjuang meredam api yang membakar rongga dada. Namun lisan lelaki tua itu semakin lama semakin berbisa. Tanpa rasa iba, ditudingnya Hambali sebagai lelaki tak tahu diri, yang menaruh cinta pada perempuan lebih tinggi.

Api dendam melahap habis kesabaran dan akal sehatku. Mataku bersitumbuk dengan seonggok kayu. Kayu itu kuayunkan ke kepalanya berulangkali. Jerit ngeri para pelayat tak mampu menghentikan ayunan tanganku. Ketika itu, entah kenapa, di mataku Pacik Zainuri telah menjelma seekor babi. (*)



Catatan
Ngaruh Rasan, negosiasi kedua belah pihak keluarga calon mempelai tentang kisaran besar mahar pernikahan. Adat ini masih dipakai di sebagian desa di Kabupaten Muara Enim. SumSel.
Cugur,  tetua adat.
Ebak, Ayah.
Umak, Ibu.

Cerpen ini pernah tayang di laman Cendana.news, edisi Sabtu, 14 April 2021

Share:

Advertisement

BTemplates.com

Diberdayakan oleh Blogger.

Udin Ingin Pergi ke Surga

Gembira di wajah Udin secerah langit tengah hari. Ia duduk di bale-bale bambu sembari menantikan  penjelasan ibunya tentang surg...

Labels